Dalam ajaran Jawa kita akan mengenal istilah Guru Sejati. Siapakah dia? Pada hakekatnya setiap manusia memiliki Guru Sejati. Dalam tradisi tasawuf, peran mursyid akan otomatis berhenti ketika muridnya telah menemukan Guru Sejatinya. Laku-laku dalam tarekat atau dalam istilah tasawufnya disebut tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) sejatinya dilakukan agar si nafs (jiwa) itu dapat bertemu dengan Guru Sejatinya. Jika dalam mistik Islam dikenal istilah Nurullah, Nur Muhammad, dan Nur Insan maka dalam ajaran Jawa dikenal istilah Suksma Kawekas, Suksma Sejati, dan Roh Suci.
Dalam penjabaran lebih lanjut apa yang disebut sebagai Suksma Sejati itu akan termanifestasi ke dalam Rasa Jati atau rahsa sejati. Di sanalah si nafs akan mendapat bimbingan langsung dari Sang Guru Sejati. Istilah dalam mistik Islam pada tahap ini si nafs (jiwa) sudah dianugerahi Ruh Al Quds. Oleh karenanya segala perbuatannya akan otomatis selaras dengan kehendak Tuhan. Dalam terminology Jawa istilahnya yaitu nuruti kahreping rahsa, bukan nuruti rahsaning karep (mengikuti hawa nafsu). Dalam ayat Al Quran sendiri disebutkan beruntunglah orang-orang yang menyucikan jiwanya dan merugilah orang-orang yang mengotori jiwanya.
Memang, pokok bahasan ini jauh dari kebutuhan jika sang jiwa belum tertarik dan masih haus dalam pemenuhan kebutuhan jasad yang sering aku istilahkan dengan tarikan kebumian. Anda dapat membaca kisah sang motivator dalam artikel di sini. Di sana jelas terlihat bahwa apa yang dicari oleh kebanyakan manusia pada tataran tertentu menjadi semu. Batinnya kering dan hampa. Ada sebuah kesepian eksistensial yang menyeruak begitu saja (biasanya umur 40th ke atas).
Kenapa hal ini perlu dibahas?
Aku tak bisa memungkiri bahwa apa yang terjadi sekarang ini di bumi Nusantara telah menunjukkan titik nadirnya. Beberapa kelompok begitu terpesona dengan pernak-pernik dunia, beberapa lagi terkotak dalam label agama dan ironisnya menggoyang Bhineka Tunggal Ika dengan tameng ayat-ayat suci dari Tuhan. Yang terpesona dengan pernak-pernik dunia begitu terpukau dan tak menyadari bahwa ia ibarat minum air laut sedangkan yang terkotak dalam label agama malah semakin tersungkur dalam jerat fanatisme yang malah menjadikannya “buta” dalam melihat “wajah” Tuhan di dunia. (kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Tuhan).
Puasa di bulan Ramadhan yang sejatinya dimaksudkan agar si manusia dapat menyucikan jiwanya beberapa malah justru mengumbar nafsunya. Dengan dalih menghormati bulan ramadhan sekelompok orang beratribut agamis mengocar-acirkan warung yang masih menggelar dagangannya. Inilah cermin manusia yang nuruti rahsaning karep. Bagi aku pribadi, warung-warung itu malah harus dibuka seperti biasa karena disanalah sumber godaan itu akan muncul. Padahal inilah level dasar untuk berlatih menggendalikan hawa nafsu dalam tataran raga alias perut semata.
Nanti pada saat hari raya, Pak Ustad akan sering menyebut fitrah, seperti bayi yang baru lahir. Kenapa demikian? Karena sejatinya puasa di bulan ramadhan ini diharapkan mampu menempa manusia untuk bertemu dengan Guru Sejatinya. Anda tahu bayi? Bayi itu bebas nilai dalam memandang segala hal dalam artian ia belum kenal hitam-putih atau tak memandang sesuatu dengan “mata” dajjal. Manusia punya mata sepasang, telinga sepasang, lubang hidung sepasang, tangan dan kaki sepasang, tapi manusia hanya memiliki satu mulut.
Lantas kalau sudah “bertemu” harus bagaimana lagi?
Konsultasikan segala sesuatu itu pada Guru Sejatimu karena ialah yang paling mengerti jalan yang dimudahkan bagimu. Bagaimana dengan keadaan yang sekarang? Ya… setiap orang yang sadar tentunya akan tahu apa yang harus ia lakukan. Akan tetapi, walaupun apa yang dilakukan orang bisa berbeda-beda namun tak akan lepas dari panggilan penyadaran bersama. “kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Tuhan”, jika demikian tidak bisa tidak, pengungkapan ini hanya bisa dilakukan dengan bahasa cinta. Cinta yang tanpa syarat, cinta yang membangun. Bagaimana mungkin “wajah” Tuhan akan kita coreng dengan caci maki dan sumpah serapah? Layaknya tulisan ini, mungkin bagi Anda akan terasa menyentil, ada juga yang tak mengerti, dan ada juga yang hanya senyam-senyum sendiri. (aku tak bisa diam, aku tak bisa bicara. Bicaraku dengan diam, diamku dengan bicara).
Perjalanan tak berhenti sampai di sini. Selama manusia masih memiliki hak napas, selama itu pula ia akan berproses untuk terus mengenal dan mengenal hakikat kehidupan. Keadaan yang sekarang ini ya memprihatinkan, mempesona sekaligus biasa-biasa saja. Urip mung mampir ngombe. Hidup hanyalah senda gurau belaka. Baiknya kita tertawa saja hahahahahaha…..
0 komentar:
Posting Komentar