Jumat, 24 Juni 2011

Jadi “orang”

Idiom yang ada di masyarakat kita selalu menyebutkan bahwa kalau mau jadi “orang” itu minimalnya punya pekerjaan tetap. Lebih mentereng lagi jika saja masuk pegawai negeri. Orang yang demikian itu baru pantas disebut “orang”, sedangkan orang-orang yang kerjaannya berdagang apalagi baru pedagang kelas teri maka belum pantaslah disebut “orang”.

Jika kadar ke”orangan” orang-orang yang sudah mempunyai pekerjaan tetap itu baru sebatas 20 karat, maka orang-orang yang jadi pejabat itu kadar ke”orangan”nya sudah 24 karat. Oleh karena itu sangatlah wajar jika orang-orang berebut kursi kepemimpinan. Selain pantas disebut “orang”, kadar ke”orangan”nya pun langsung jadi 24 karat.

Ya, aku ini belum layak disebut “orang”, apalagi cuma jadi blogger, penulis buku indie, dan petani. Kadar ke”orangan”ku bahkan tak ada. Entah, mungkin aku ini pantasnya disebut apa, itu terserah kepada pembaca yang budiman.

Ketika “orang” besar masuk desa

Kita sering kali kelabakan untuk menyambut kedatangan “orang” besar dari kota. Tak jarang jalan-jalan berlobang langsung ditambal, jika perlu maka diaspal lagi. Para pamong desa pun tak kalah kelabakan. Mendadak seminggu berturut-turut diadakan kerja bakti. Bersih-bersih kampong karena mau ada “orang” besar.

Yup, demikianlah gambaran yang sering aku temukan di sudut-sudut universitas jagad raya, utamanya Indonesia. Namun anehnya, sejak si “orang” besar tadi sudah lengser ke prabon maka ketika ia dating lagi ke desa, semua warga tampak acuh tak acuh. Tak ada lagi namanya sambutan. Tak ada lagi bersih-bersih desa. Ngerinya, omongan sang mantan “orang” tadi sudah tak perlu didengar. Ya, mungkin kadar ke”orangan”nya sudah tak ada dan karenanya omongan si mantan “orang” tadi sudah tak pantas untuk didengar.

Jika demikian, mungkin ada sebuah perkataan sahabat Nabi yang perlu untuk direvisi.

Jangan lihat siapa yang berkata, tapi lihatlah apa yang dikatakannya (Ali Bin Abi Thalib)

si mantan “orang” tadi sudah kehilangan kadar keorangannya. Perkataannya sudah tak pantas didengar. Oleh karena itu, apa yang dikatakan oleh sahabat Ali ini mungkin saja perkataan asal-asalan. Apa benar demikian? Ah aku tak tahu, mungkin saja pembaca yang lebih tahu. 

Di lain sisi, ada juga orang berkata: tua itu pasti, tapi menjadi dewasa itu pilihan. Berangkat dari sini, maka ketika aku telusuri di universitas jagad raya, ada juga orang yang demikian. Artinya, kadar umur itu tak melulu berhubungan dengan kedewasaan seseorang. Apakah Anda setuju dengan hal ini? Jika Anda setuju, bagaimana kesimpulan yang dapat Anda kemukakan ketika mendengar perkataan sahabat Nabi tersebut? Apakah perkataan sahabat nabi itu benar? Sekali lagi, aku kira pembaca yang budiman lebih tahu atau barangkali hal yang demikian ini tak usah dipikirkan. Ya, artikel ini yang buat kan juga bukan “orang”, jadi tak usahlah di dengar. Apalagi belajar dari elang, wah wah wah yang ini mah bahkan bukan orang lagi.

0 komentar: