Minggu, 04 September 2011

KETIKA PARA KOKI DIGUSUR TUKANG SAYUR

Catatan ini saya ambil dari sebuah artikel yang menurut saya sangat baik, yang berjudul “Ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki” karya Sayed Mahdi Al-Jamalullail.”

Artikel tersebut saya kutip lengkap tanpa edit. Semoga bermanfaat…

_________________________________________________

Sewaktu menghadiri shalat Jumat, saya sering mendengar khatib berkata: “sebagai umat Islam kita harus menuruti dan menjalankan apa-apa yang diperintahkan dalam Alquran, dan menjauhi apa-apa yang dilarang di dalam Alquran agar kita menjadi orang-orang yang bertakwa…” Ucapan ini memang mudah diucapkan, dan terkesan mudah pula dilakukan (bagi yang mau melakukan). Ketika kesekian kalinya saya mendengar ucapan ini, saya menjadi teringat satu problema dalam ilmu fiqih yang diangkat pertama kali oleh Imam Al-Syafi’i (w. 204 H/820 M) dalam kitabnya Al-Risalah. Berikut ini adalah kisahnya (biar menarik dibaca, kisah ini tidak lagi seharfiah redaksi aslinya) :

“Suatu ketika seorang laki-laki berangkat ke pasar. Ia berniat membeli budak. Ia kemudian membeli budak perempuan. Setelah budak itu menjadi miliknya, dan tinggal di rumahnya, ia pun berkali-kali melakukan hubungan seksual dengan budak perempuan itu.

[Karena perbudakan sekarang menjadi sesuatu yang emoh untuk difikirkan, saya akan menjelaskan sedikit: di dalam fiqih Islam hubungan seksual antara laki-laki pemilik budak dengan budak perempuan tidak dilarang. Tidak ada akad nikah, pemberian mas kawin, atau prosesi apa pun sebelum hubungan seksual itu berlangsung. Jika budak perempuan itu hamil dan melahirkan anak, maka anak itu statusnya tetap budak, tetapi ibunya naik status sedikit menjadi ummu walad, tetapi masih tetap budak. ]

Setelah beberapa lama, si laki-laki menjadi tahu bahwa budak yang dibelinya ini adalah saudara perempuannya. Nah lho… Besar kemungkinan si laki-laki adalah mantan budak yang kini merdeka dan menjadi berkecukupan, dulu orangtuanya juga budak, saudara-saudarinya pun budak. Atau bisa jadi, budak perempuan ini seayah dengannya tapi lain ibu, dan karena berbagai hal yang tragis, si adik perempuan pun akhirnya menjadi budak dan diperjualbelikan. Terus jadi gimana masalah ini?

Kita lihat pokok masalahnya …..

Si laki-laki membeli budak perempuan dan kemudian melakukan hubungan seksual dengan budaknya itu. Keadaan ini dibolehkan oleh Alquran, malah dianggap baik-baik saja. Hasanah bi dzatiha. Alquran di dalam Surah Al Mukminun ayat 5 membolehkan perilaku seperti ini:

qad aflaha’l mu’minun

alladzina hum fi shalatihim khasyi’un

walladzinahum ’ani’l laghwi mu’ridhun

walladzinahum lizzakati fa’ilun

walladzinahum li furujihim hafizhun

illa ’ala ajwazihim aw ma malakat aymanuhum, fainnahum ghairu malumin

(Alquran Surah Al Mu’minun 1 – 5)

[sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman yaitu orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna dan orang-orang yang menunaikan zakat dan orang-orang yang menjaga penisnya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak perempuan yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela ]

Ketika lama kemudian si laki-laki menjadi tahu bahwa budak perempuan itu adalah adiknya, maka hubungan ini menjadi incest, dan sangat dilarang. Qabihah bi dzatiha. Haram tanpa kompromi, karena Alquran dalam Surah An-Nisa ayat 23 melarangnya:

Hurrimat ’alaikum ummahatukum, wa banatukum, wa akhawatukum, ….

(diharamkan bagi kamu sekalian untuk menikahi ibu-ibumu [maksudnya ibu kandung terus ke nenek terus ke atasnya nenek], anak-anak perempuanmu [anak terus ke cucu dan seterusnya], dan saudara-saudara perempuanmu ……… dst.)

Dalam kasus di atas, si perempuan adalah saudarinya dan sekaligus budaknya. Kebolehan melakukan hubungan seksual dengan budak yang ditetapkan dalam Surah Al Mu’minun ayat 1-5 menjadi tidak relevan. Surah An-Nisa ayat 23 harus dimenangkan. Kenapa harus dimenangkan? Bisa jadi hati nurani dan akal sehat si laki-laki yang berkata demikian. Atau bisa juga sebuah fatwa dari seorang ahli fiqih yang mengangkat dua kaidah fiqih seperti: dar`u’l mafasidi awla min jalbi’l mashalihi (menghilangkan keburukan lebih utama dari memperoleh kemaslahatan) dan fa idza ta’aradha mafsadatun wa mashlahatun quddima daf’ul mafsadati ghaliban (apabila bertemu keburukan dan kebaikan dalam satu masalah, maka utamakanlah menghilangkan keburukan).

Kaidah-kaidah fikih di atas saya kutip dari kitab berjudul al-Asybah wa’l-Nazhair karya Ibnu Nujaim (w. 970 H/ 1562 M). Kaidah-kaidah ini adalah hasil penalaran hukum para fuqaha dari berbagai dalil seperti Alquran, hadis Nabi Muhammad, fatwa-fatwa para mujtahid besar, dan hal-hal lain. Jika pun kaidah-kaidah ini dilepaskan dari sumber-sumber religius, sifatnya tetap rasional, karena dalam banyak kasus, bunyi kaidah-kaidah fiqih menjadi sama dengan maxim hukum berbahasa Latin yang berasal dari penalaran rasional, contohnya seperti al-hukmu yaduru ma’a ‘ilatihi wujudan wa ‘adaman (hukum itu akan terus berlaku bila reason-nya masih terus ditemukan dan berlangsung, dan hukum itu menjadi tidak berlaku lagi jika reason-nya tidak ada lagi) yang sama dengan mutata legis ratione mutatur et lex (the law is changed if the reason of law is changed).

Saya mengangkat kisah di atas agar kita memikirkan kembali bahwa Alquran dan hadis sesungguhnya adalah bahan mentah. Seorang ahli fiqih dapat diibaratkan seorang chef (koki profesional) yang mengolah bahan-bahan mentah tersebut. Kitab-kitab fiqih klasik yang ditulis oleh para fuqaha di masa lalu dapat diibaratkan dengan kumpulan resep-resep masakan yang telah mengolah banyak bahan mentah menjadi masakan yang lezat. Membuang semua resep-resep itu tidak menjamin hasil kerja koki di zaman sekarang lebih baik dari yang dihasilkan para koki di masa lalu.

Para fuqaha klasik dan kitab-kitab fiqih yang mereka hasilkan adalah pilar terakhir rasionalitas di dalam tradisi pemikiran Islam, setelah filsafat dan ilmu kalam. Tradisi fiqih adalah tradisi rasional, karena peran akal sehat menjadi sangat menonjol ketika berhadapan dengan dalil-dalil yang berbenturan dan ambigu. Kini pilar terakhir ini semakin lama semakin lenyap, perlahan-lahan hilang ditengah menjamurnya para ”koki” tanpa resep. Para ”koki” yang pada hakikatnya hanyalah ”tukang sayur”. Para “tukang sayur” ini memang mengetahui beragam jenis sayur mayur, ikan, dan bawang, tetapi tidak pernah belajar menjadi ”koki” dan menganggap tidak ada gunanya mempelajari apa yang ditulis oleh para ‘koki”. Kini mereka menggusur para ”koki”, dan mulai menyajikan bahan-bahan mentah tanpa diolah untuk sarapan hingga makan malam.

Para “koki” di masa lalu memang menghasilkan banyak perbedaan resep masakan, dan beberapa “chef” membentuk aliran cara memasak yang menjadi mazhab para “koki” yang hidup di era selanjutnya. tetapi para “tukang sayur” di masa kini gerah dengan banyaknya mazhab para koki di masa lalu, mereka lalu memaksakan makanan yang orisinal, tunggal tanpa perbedaan cara memasak, sesuatu yang otentik tanpa perubahan, tanpa perlu dimasak.

Para ”tukang sayur” ini bisa ditemukan di banyak tempat, dan runyamnya lagi para “tukang sayur” ini sekarang semakin banyak di Indonesia. Di Saudi Arabia para “tukang sayur” ini berkumpul di al-Lajnah al-Daimah li’l-Buhuts al-’Ilmiyyah wa’l ifta’ (The Permanent Council for Scientific Research and Legal Opinions), namanya aja yang wah..

Di Lajnah ini berkumpullah pemuka-pemuka Islam Wahabi, seperti ‘Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (1911-1999), sampai meninggalnya ia adalah mufti agung Kerajaan Saudi Arabia. Muhammad bin Shalih bin ‘Utsaimin (1927 – …. ). Abdullah bin Jibrin (1930 – …. ); dan Shalih bin Fauzan yang juga memimpin al-Ma’had al-’Ali li’l Qudah (Supreme Judicial Council).

Sekarang coba kita perhatikan beberapa hasil fatwa kaum Wahabi ini :

PERTANYAAN 1

Saya ingin mengirimkan foto saya kepada istri, keluarga, dan teman-teman saya, karena sekarang saya berada di luar negeri. Apakah hal ini dibolehkan?

JAWABAN (oleh komite ulama Lajnah dalam Fatawa al- Lajnah)

Nabi Muhammad di dalam hadisnya yang sahih telah melarang membuat gambar setiap makhluk yang bernyawa, baik manusia atau pun hewan. Oleh karena itu Anda tidak boleh mengirimkan foto diri Anda kepada istri Anda atau siapa pun.

PERTANYAAN 2

Apakah hukumnya jika seorang perempuan mengenakan beha (kutang atau bra) ?

JAWABAN (oleh Abdullah bin Jibrin dalam Fatawa al- Lajnah)

Banyak perempuan yang memakai beha untuk mengangkat payudara mereka supaya mereka terlihat menarik dan lebih muda seperti seorang gadis. Memakai beha untuk tujuan ini hukumnya haram. Jika beha dipakai untuk mencegah rusaknya payudara maka ini dibolehkan, tetapi hanya sesuai kebutuhan saja.

PERTANYAAN 3

Apakah hukumnya Saudi Arabia membantu Amerika Serikat dan Inggris untuk berperang melawan Irak? (ini kasus Perang Teluk pertama sewaktu Bush senior jadi Presiden Amerika Serikat)

JAWABAN (oleh Abdullah bin Jibrin dalam Fatawa al- Lajnah)

Hukumnya adalah boleh (mubah). Alasannya karena (1) Saddam Husein telah menjadi kafir, jadi Saudi Arabia memerangi orang kafir dan bukan seorang Muslim (2) Mencari bantuan dari Amerika Serikat dan Inggris adalah suatu hal yang mendesak (dharurah) (3) Tentara Amerika sama statusnya dengan tenaga kerja yang dibayar. Tentara Amerika bukanlah aliansi kita, tetapi kita mempekerjakan mereka untuk berada di pihak umat Islam untuk berperang melawan orang kafir (yaitu Saddam Hussein).

Tampaknya Lajnah ini mengurus banyak hal, dari beha hingga perang teluk. Yang menyedihkan adalah fatwa-fatwa itu tampak berasal dari kondisi absennya rasionalitas yang cukup akut. Lenyapnya akal sehat untuk jangka waktu yang cukup lama. Fatwa-fatwa di atas juga tidak menunjukkan adanya koherensi, tidak terlihat dipakainya metode penetapan hukum yang dikembangkan para fuqaha klasik, tidak ada pula pendekatan melalui kaidah-kaidah fikih, dan tidak ada usul fikih. Yang tersisa hanyalah wacana hukum yang otoritarian.

Pada tahun 1990-an dulu, K.H. Ali Yafie yang benar-benar memahami fikih, seorang “koki” dengan banyak jam terbang, mengangkat kaidah fikih: idza ta’aradha mafsadatani ru’iya a’zhamuhuma dhararan bi irtikabi akhaffihima (apabila bertemu dua keburukan, maka pertimbangkan mana yang paling besar dampak keburukannya, lalu pilihlah yang dampak keburukannya lebih kecil).

Kaidah fikih di atas ia jadikan justifikasi ketika ia berpendapat bahwa lokalisasi bagi para pekerja seks komersial (psk) lebih baik daripada membiarkan mereka mencari pelanggannya di mana-mana. Karena memang belum ada hukum yang jelas melarang prostitusi, dan prostitusi tampaknya tidak bisa dihentikan sebelum perekonomian, kesempatan pendidikan, dan kesempatan kerja menjadi lebih baik. Apa yang terjadi kemudian? K.H. Ali Yafie dengan segera dihujat dan dikecam oleh banyak ”tukang sayur”. Ia dituding sebagai kiai sesat, dan bermacam-macam julukan negatif lainnya. Padahal setahu saya, KH. Ali Yafie adalah sosok ulama sederhana yang berfikir dan bernalar dari sudut pandang ilmu fiqih.

Di Jakarta, saya pernah menghadiri ceramah seorang penceramah kondang yang sudah dianggap ulama oleh yang menganggap (mungkin tidak etis jika saya menyebut nama ”tukang sayur” ini). Di akhir ceramah, ada yang bertanya: ”Pak Ustadz, apakah hukumnya meng-qadha shalat”? (meng-qadha shalat adalah melakukan shalat fardhu sebagai ganti dari shalat fardhu yang tidak dilakukan pada suatu waktu). Pak Ustadz ini dengan yakin dan berwibawa langsung menjawab: ”di dalam Islam tidak ada yang namanya qadha shalat.” Jawaban yang luar biasa, karena setahu saya empat mazhab fiqih utama (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanbaliyah) membolehkan qadha shalat kecuali mazhab Zahiriyah yang minoritas. Tapi sebenarnya bagi saya yang paling menarik adalah kata-kata “di dalam Islam……” Ini adalah jawaban standar para “tukang sayur”. Dalam kitab-kitab fiqih klasik tidak pernah tertulis jawaban “di dalam Islam…..” atau “menurut Islam….”, yang ada hanyalah “di dalam mazhab Syafi’i…” atau “menurut pendapat yang berlaku di kalangan mazhab Hanafi….”. Para fuqaha klasik ini rendah hati, mereka tidak pernah mengklaim. Tapi para “tukang sayur” ini benar-benar arogan. Ketika ia menyatakan “di dalam Islam…” atau “menurut Islam…” maka secara tidak langsung ia telah menggusur setiap narasi atau siapa saja yang tidak sependapat dengan dia dari ruang lingkup Islam.” Menggusur… seperti Sutiyoso saja. Bayangin aja empat mazhab fikih besar koq digusur sehingga sekarang berada di luar Islam.

Ketika isu penolakan presiden perempuan menghangat, saya sempat dijadikan obyek indoktrinasi oleh seorang ”tukang sayur”. Ia berasal dari perkumpulan ’Jama’ah Tabligh’. (menurut seorang teman, cara dakwah door to door Jama’ah Tabligh ini mirip dengan ’Saksi Jehova’ dalam Kristen Protestan. Saya pikir asyik juga kalau bisa mempertemukan antara Jama’ah Tabligh dan Saksi Jehova, biar mereka saling mendakwahi, saling menggembalai. Minimal kalau difilmkan dengan kamera video digital bisa menang di Festival Film Indie di MTV).

“tukang sayur” dari Jama’ah Tabligh ini dengan segera mencecar saya, berikut dialognya, huruf kapital menandakan perkataan dari “tukang sayur”.

”ANDA MUSLIM KAN, ANDA SETUJU KALAU PEREMPUAN JADI PRESIDEN?”

“setuju saja, asal dia mampu, memang kenapa?”

“LHO, ANDA INI GIMANA, ISLAM MENGHARAMKAN PRESIDEN PEREMPUAN..”

“kok Anda tahu Islam mengharamkan presiden perempuan?”

“ADA HADISNYA. NABI MUHAMMAD MELARANG PEMIMPIN PEREMPUAN, KALAU PEREMPUAN JADI PEMIMPIN MAKA RUSAKLAH NEGARA.”

“Oo.. begitu ya. Jadi menurut Bapak bagaimana cara kita menjalankan hadis Nabi secara benar?”

“HARUS APA ADANYA, GIMANA DI DALAM HADIS YA YANG BEGITU ITU KITA JALANKAN, SAMI’NA WA ATHA’NA. SAYA DENGAR SAYA TAAT. GAK BOLEH DIUBAH-UBAH, JANGAN DI BOLAK-BALIK MAKNANYA!”

“oo.. jadi harus apa adanya?”

“IYALAH!”

“Bapak pernah tau gak ada hadis yang sama sahihnya dengan hadis pelarangan pemimpin perempuan?”

“APA TUH?”

“al-aimmah minal Quraisy, pemimpin itu haruslah berasal dari Suku Quraisy. Kalau menurut hadis ini hanya orang Arab dari suku Quraisy yang boleh jadi presiden. Laki-laki pun kalau bukan Suku Quraisy gak boleh jadi presiden di Indonesia Pak.. Kita harus impor dari Arab.”

“YAAH, SITUASINYA KAN UDAH BEDA, KITA HARUS LIHAT KEADAANNYA SEKARANG DONG..”

“tapi tadi bapak bilang hadis harus dijalankan apa adanya, gak boleh dibolak-balik pemahamannya?”

“…?!?!”

Tahun 1999, di kampus IPB Bogor, dalam suatu kesempatan saya pernah iseng-iseng menghadiri tabligh akbar organisasi Hizbut Tahrir. Organisasi ”tukang sayur” internasional yang radikal. Salah seorang penceramah dengan gagah perkasa mengatakan ”nation state, demokrasi, dan hak-hak azasi manusia bertentangan dengan Islam.” Para hadirin yang hampir semuanya adalah mahasiswa-mahasiswi IPB Bogor serentak merespons dengan teriakan ”Allahu Akbar”. Luar biasa, mahasiswa-mahasiswi sebuah institut negeri yang bergengsi dengan gampang diindoktrinasi dan dicuci otak oleh komplotan ”tukang sayur”. Hebatnya lagi “tukang sayur” itu tidak mengangkat dalil apa pun ketika ia mengatakan nation state, demokrasi, dan hak-hak azasi manusia bertentangan dengan Islam, ia tidak mengutip Alquran dan hadis seperti lazimnya “tukang sayur profesional”. Tampaknya ada spesies baru “tukang sayur” di IPB Bogor ini, spesies yang paling memprihatinkan.

Ketika acara di IPB itu selesai, saya keluar dari ruangan itu. Saya perhatikan mahasiswa IPB yang rata-rata berjenggot, memakai celana gantung (di atas mata kaki), yang mahasiswi terbungkus jilbab rapat, ada juga yang bercadar. Sebagian mereka memegang buku-buku. Saya melirik melihat judulnya, ada Statistik, Ekonomi Pertanian, Teori Ekonomi Mikro, Ekonomi Pembangunan, Ilmu Kimia, dan banyak lagi. Semuanya ilmu-ilmu yang dibangun di atas rasionalitas dan dipahami secara rasional. Tetapi di mana mereka menitipkan rasionalitas ketika menghadiri indoktrinasi para “tukang sayur” di ruangan tadi?

Para ”tukang sayur” dengan kemampuan retorika yang luar biasa akhirnya memang meraih banyak pendengar dan pengikut, lambat laun para ”tukang sayur” ini tampaknya akan menang perang dalam menggusur para ”koki”.

Saya jadi teringat sebuah hadis Nabi Muhammad yang pernah saya dengar di pesantren dulu (tapi sayangnya saya lupa redaksinya dan sampai sekarang belum ketemu perawinya), kurang lebih hadis itu artinya begini: “akan datang suatu zaman bagi umatku di mana pada masa itu banyak sekali pendakwah, dan sedikit ulama.”

Hadis di atas itu sekarang saya pahami menjadi “akan datang suatu zaman bagi umatku di mana pada masa itu banyak sekali ‘tukang sayur’, dan sedikit sekali ‘koki’.”

wallahu a’lam bi’l shawab.

Sumber: http://idhamdeyas.blogspot.com/2005/03/ketika-para-koki-digusur-tukang-sayur.html

0 komentar: