siang begitu terik, pejalan kaki mondar-mandir dengan wajah cemberut. Mungkin uang THR nggak turun-turun atau mungkin sebal dengan dirinya sendiri karena nggak ada warung yang buka. Ya, beginilah wajah Jakarta, walau ada sebagian pengecualian namun hal begini sudah menjadi “adat” kaum metropolitan.
“mas, boleh minta apinya”
Seorang mbak mbak tiba-tiba menghampiri Andi yang sedang asyik menyedot candu nikotinnya. Dengan cekatan si Andi mempersilakan bara yang ada di lingkar jarinya untuk diberikan kepada mbak mbak itu. Sebatang samsu pun segera menyala dengan kepul asapnya.
“makasih mas, masnya mau kemana?”
Pikiran jelek sekilas berkelebat dalam otak si Andi. Apa lacur, tampang si mbak mbak telah memaksa pikirannya untuk menyimpulkan bahwa dia bukan wanita baik-baik. Akan tetapi, ia cuma membatinnya saja.
“oh, saya mau ke Senen mbak”
“bagaimana kalau kita sewa bajaj saja, kebetulan aku juga searah kok mas. Kalau dari sini mungkin sekitar 30 menitan. Paslah, 30 menitan lagi biasanya keretanya dateng”
“hm… ya okelah mbak kita sewa bajaj”
Hawa panas kian terasa dalam kendaraan. Kepulan asap tak menjadi soal untuk sesama penikmat nikotin, malah membuat semakin akrab suasana. Mereka saling menikmati kebersamaan dalam bahasa diam sampai seorang anak kecil menyanyikan kidung sucinya.
“lhoh Sah, kok sendirian? Ibunya kemana?”
Mbak mbak tadi menegur sang seniman kecil, sejurus kemudian candu nikotin dihisapnya dalam-dalam.
“ibu nggak ikut mbak, lagi istirahat. Katanya agak pusing”
“oo… ya sudah, hati-hati ya..”
Beberapa uang ribuan dikeluarkan si mbak tadi dan diberikan kepada seniman kecil itu.
“makasih ya mbak Santi”
Melihat adegan nyata di depan matanya, Andi tampak keheranan. Ia mulai menyelidik perihal jati diri teman perjalanannya itu.
“kok pengamen itu bisa kenal mbaknya”
“hm… aku ini kebetulan sering “silaturahmi” dengan mereka mas. Itu yang tinggal di kolong jembatan, jadi hampir semuanya kami saling kenal. Beberapa minggu ini aku belum sempat mengunjungi mereka karena memang lagi sibuk di teater l**kar. Minggu-minggu ini kami banyak acara”
“ooo… begitu ya mbak “
“sampai Senen ongkosnya 12 ribu mas. Aku 7 ribu masnya 5 ribu saja gimana”
“ya, makasih ya mbak”
Sesampainya di Senen akhirnya pertemuan itu berakhir. Sebuah pertemuan singkat telah membawa perenungan mendalam bagi Andi. Sebuah pelajaran berharga baru saja menghampar dihadapannya. Sebuah fragment dalam kitab hidupnya. Membawanya dalam sebuah kesadaran baru. Di dalam gerbong kereta Andi masih saja merenung atas kejadian yang baru saja ia alami.
“mbaknya ternyata lebih manusia” , batinnya.
[Diangkat dari kisah nyata seorang saudara]
Mungkin kita berhasil menjadi dokter, pengacara, pengusaha, politikus, penyair, agamawan, ataupun spiritualis. Namun, apakah kita akan berhasil menjadi manusia? Banyak dari kita mengaku sadar namun perkataannya jauh dari sadar. Kita sibuk dengan kesadaran tanpa sadar alias lupa untuk apa kesadaran itu. Beberapa di antara kita bahkan saling hantam-menghantam, saling memaki, dan rebutan kebenaran. Dimana letak kesadaran? Ada yang bilang di ajna, ada yang bilang di annahata. Itu oke-oke saja, monggo kerso, namun seorang pengamen kecil tak butuh ceramah perihal letak kesadaran. Untuk sekarang yang mereka pikir adalah bagaimana besok bisa makan.
Catatan:
Iri, dengki, hasut, caci-maki, hujat menghujat letaknya masih dalam tataran nafsu. Nafsu itu nar bukan nur. Istilah lainnya penyakit hati.
Kita melihat dunia tidak dengan apa adanya namun seringkali berdasarkan persepsi kita.
Shahasrara-annahata-swadisthan adalah tiga serangkai cakra dimana jika salah satu terbuka akan menstimulasi lainnya untuk terbuka. Beberapa paham menyebutnya baitulmakmur-baitulmukaram-baitulmukhadas.
Layaknya perseteruan antara Blok Barat dan Blok Timur, semua yang terjadi adalah biasa dan normal saja mengikuti hukum keseimbangan. Pada akhirnya Soekarno pun bikin Non-Blok hehehe.
Aku tak bisa bicara, aku tak bisa diam. Diamku adalah bicara, bicaraku adalah diam.
0 komentar:
Posting Komentar