Jumat, 30 September 2011

MEREKA JUGA ANAK-ANAK KITA


Beberapa minggu terakhir ini banyak stasiun televisi yang menyiarkan tawuran antar pelajar diberbagai kota, baik mereka yang masih duduk di bangku SMU maupun perguruan tinggi. Melihat kejadian ini lantas beberapa pihak menyalahkan mereka tanpa pernah instrospeksi diri sendiri sebagai orang tua. Para pelajar itu adalah anak-anak kita. Mereka juga bagian dari keluarga kita yang membutuhkan teladan serta kasih sayang.

Sikap anarkis mereka justru merefleksikan diri kita sendiri yang mengaku sebagai orang tua. Ini adalah realita. Realitanya banyak generasi muda kita yang menjadi beringas dan mudah terpancing emosinya dan itu jelas akibat pola didik kita-kita juga. 

Walau saya selaku pengasuh blog pemalas bukanlah pakar psikologi, namun ijinkanlah saya untuk menganalisis realita ini seobjektif mungkin. Dalam pandangan saya, luapan emosi pelajar itu jelas merupakan pengalihan atas hasrat yang tak tersalurkan. Banyak kemungkinan yang dapat mendasari hal ini. Factor keluarga jelas secara langsung ataupun tak langsung juga akan berpengaruh bahkan bisa jadi itu adalah factor utama penyebabnya. 

Para pelajar seumuran mereka tentulah berada dalam masa-masa transisi dari muda menuju dewasa. Dapat dikatakan pula mereka adalah kaum dewasa muda yang masih haus akan pencarian jati diri. Oleh karenanya bimbingan dan teladan orang tua sangat dibutuhkan. Namun apa lacur, kesibukan orang tua kerja keras banting tulang dalam mencari nafkah untuk keluarga sedikit banyak telah memperkosa hak mereka sebagai anak untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang. 

KESALAHAN BERSAMA

Jadi, apakah orang tua yang patut disalahkan? Tidak demikian. Ini adalah masalah kesadaran. Kesadaran akan hidup yang sudah lama terpendam dalam hati sanubari. Sudah sejak dulu saya menolak doktrin kerja keras dan menggantinya dengan jalan malas, namun masih banyak juga yang malah mencibir. Apa perlu saya sindir kembali?

Lhoh kok malah nyangkut ke kerja keras segala? Ya… bagaimana tidak. Kerja keras adalah pangkal segala pangkal kebobrokan itu jika kita mau mencermatinya. Dalam kamus saya tak ada kata kerja keras. Tolong perhatikan, sudah berapa orang yang selalu berkoar-koar mengenai kerja keras ini. Tak peduli para guru, dosen, professor, sampai presiden sekalipun selalu mendeskripsikan dirinya dengan pekerja keras. Sungguh menggelikan, bahkan para atlit olah raga pun selalu ngomong kerja keras atas prestasi gemilangnya. Padahal apa yang mereka lakukan adalah jalan hidupnya. Para pemain sepak bola adalah mereka yang menggemari permainan itu. Jadi, mana mungkin bias dibilang kerja keras?

Anda ingin tahu siapa pekerja keras itu? Mereka itulah yang selalu merasakan tekanan bathin dalam dirinya sendiri dan berpura-pura menutupinya. Mereka itulah para maniak hari libur, jam kosong, dan waktu-waktu dimana si bos tidak berada di tempat. Apakah Anda belum menyadarinya? Sungguh? Apakah realitas yang demikian membelalak mata juga belum Anda lihat?

Ketahuilah efek perasaan Anda yang selalu tertekan saat atasan Anda marah-marah itulah biang pangkal segala keruwetan ini. Secara kuantum, pendaran gelombang perasaan yang Anda kirimkan ke alam semesta ini akan menarik gelombang yang sama frekuensinya dan kembali menimpa Anda. Efek domino dari hal tersebut sedikit banyak juga akan menimpa keluarga Anda bahkan lingkungan sekitar pun akan mendapatkan efek yang sama. Anda bisa bayangkan, betapa mengerikannya jika ternyata sebagian besar penduduk di muka bumi ini ternyata adalah para pekerja keras yang justru semakin hari semakin menjamur keberadaannya, ah…. 

Detik ini, bangsa ini bahkan dunia telah menerima akibatnya. Dalam artikel di sini sudah saya jelaskan secara gamblang bahwa kita sekarang hidup di atas kapal Nuh yangretak. Kita semua bangkrut. Bangkrut dari rasa saling memiliki, bangkrut dari rasa menyayangi, dan bangkrut dari sisi kemanusiaan kita. Bangkrut dari Cinta.

Cara memuliakan Cinta adalah memuliakan ciptaanNya karena kemanapun kamu menghadap, di situlah wajah Tuhan.
-Mata Elang-

0 komentar: