Mendengar namanya pikiranku langsung mencari folder dalam tumpukan hardisk ingatan di memori otakku. Sarching.. searching… dan terpampanglah sebuah folder dengan tulisan 25 Desember. Ya, tanggal dan bulan itulah yang setiap kali muncul ketika aku mendengar namanya. Ruddy Prasetyo, itulah nama Indonesianya. Aku lupa nama Chinanya, ia keturunan China, berkulit kuning namun sangat medhok berbicara Jawa.
Apa yang akan aku ceritakan di sini mungkin dapat dijadikan refleksi mengenai keberagamaan kita yang rasa-rasanya semakin menemukan titik nadirnya. Semakin carut-marut, semrawut, seperti terkena penyakit menahun yang sudah akut.
Lek Dhi, begitu seringkali ia dipanggil adalah seorang katholik yang taat (semoga ngga salah inget). Namun demikian, ia dapat berbagi kebahagiaan kepada kami ketika tiba tanggal 25 Desember. Di hari Natal itu ia selalu mengundang kami untuk sekdar menikmati kenduri kecil-kecilan. 2 ekor ayam panggang selalu menjadi menu andalan ketika kami berkunjung di gubuk asrinya.
“ayo sini, ini ayamnya disembelih sendiri ya”
Begitu ayahnya mempersilahkan kami untuk memotong ayam sendiri. Betapa toleransi keberagamaan sangat terasa ketika itu. Rasa toleransi yang kini sudah menjadi barang langka. Barang langka yang semakin hari malah semakin amoh. Semakin tenggelam oleh keegoisan dalam beragama. Semakin tenggelam karena betapa sempitnya pemahaman dalam beragama.
Rasa-rasanya, tak ada agama yang akan menanggalkan kemanusiaan. Ketika sebuah nilai kemanusiaan telah hilang dalam keberagamaan, mungkin kita patut untuk mempertanyakan: sudah benarkah aku dalam beragama?
0 komentar:
Posting Komentar