Indonesia, Negara kesatuan republik yang cantik ini sebenarnya adalah surganya dunia. Aku merasa sangat beruntung sekali hidup di Negara ini. Bayangkan saja, kekayaan alamnya sangat berlimpah. Terlalu banyak jenis tanaman yang bisa ditumbuhkan di negeri ini. Ini berarti aku tak akan susah untuk makan “madu” dari tanaman. Contohnya, tiap kali aku pulang kampung, aku sampai eneg untuk makan mangga. Tak jarang mangga aku sedekahkan kepada codot dan lamur malam hingga tersisa bijinya saja di ranting pohon. Belum lagi jika aku lihat laut. Dulu perutku selalu penuh dengan daging cumi, kakap, kerapu, dan berbagai jenis ikan laut lainnya. Ya, dulu sewaktu aku berada di pulau, aku menikmati sekali menjadi bagian dari nusantara ini. Tiap malam berbekal kopi, rokok, dan kail sambil menikmati padang bulan aku menyeret satu-persatu ikan dari habitatnya. Enak sekali bukan?
Yang lebih membanggakan lagi Indonesia, Negara republik yang cantik ini ternyata adalah Negara yang paling dermawan, welas asih, dan tidak sombong. Memang pantaslah jika Negara ini disebut sebagai Negara besar dan kaya raya. Saking kayannya Negara ini tiap tahun sedekah emas, bahan tambang, bahkan pasir pun di sedekahkan ke Negara sebelah. Beberapa tahun yang lalu bahkan Negara ini sanggup menyedekahkan pulaunya. Negara ini sekali lagi adalah Negara yang paling dermawan, welas asih, dan tidak sombong. Saking tak ada kerjaan maka ada yang rela membantu Negara-negara yang masih butuh sumberdaya manusia. Wah, wah, wah Negara ini memang Negara yang besar. Pantas saja kalau banyak karya-karya besar dihasilkan di sini. Mulai dari bahasa, seni musik, seni tari, adat istiadat semuanya berlimpah ruah di negeri ini. Beberapa produk budaya bahkan sampai-sampai diroyok juga oleh Negara lain. Benar-banar kaya negeri ini.
Apa masih kurang? Baik, aku tambahkan. Negeri yang cantik ini ternyata juga gudangnya para pemain drama. Para comedian, pemain lenong, pemain teater yang penuh imajinasi dan gelak tawa. Tidakkah kita merasakan bahwa panggung teater PSSI itu merupakan seni tingkat tinggi, tidakkah Anda hanyut dan tenggelam dalam teater-teater panggung politik yang penuh dengan intrik itu? Sungguh, jika kita mau mencermati mereka, maka kita dapat merasakan bahwa para pemain drama kita itu memilki jiwa seni tingkat tinggi. Dan manusia yang mempunyai seni tingkat tinggi tentulah manusia yang mampu mendayagunakan cipta rasa dan karsanya.
Oleh karena itu, jika aku, Anda tak bisa berkarya berarti sebuah kemunduran telah menimpa negeri yang cantik ini. Entah, pembelajaran apa yang hilang dari generasi ke generasi sampai-sampai generasi sekarang emoh untuk memakai identitas dirinya sendiri. Emoh untuk mewarisi ilmu tingkat tinggi yang dimiliki oleh para pendahulunya. Mulai dari budaya, bahkan kiblat pendidikan selalu diidentikkan dengan kemajuan teknologi di luar sana. Semua didasarkan atas materi, asesoris luarnya saja.
Perhatikan, sebuah karya selalu lahir dari buah pemanfaatan cipta, rasa, dan karsanya manusia. Tak ada karya berarti potensi cipta, rasa, dan karsa itu tak dimanfaatkan. Dan itu menunjukkan ketakberdayaan manusia dalam mengeksplorasi dirinya sendiri. Ia tak mampu memanfaatkan potensi yang telah dianugerahkan kepadanya.
Aku jadi ingat kata-kata Pak Karno kepada menhan Amerika waktu jamannya Presiden AS, John F. Kennedy:
Kepada Wilson, Bung Karno tidak sekedar mengulurkan tangan untuk bersalaman. Lebih dari itu, Bung Karno dalam bahasa Inggris yang fasih berkata, “Kombinasi baju dan dasi Tuan tidak bagus,” berkata begitu sambil Bung Karno membetulkan ikatan dasi yang kelihatan miring. Selesai merapikan dasi Menhan Amerika Serikat itu, Bung Karno melanjutkan ucapannya, “Tuan boleh punya bom atom, tapi kami punya seni tingkat tinggi.”
Ada apa dengan seni? Ketahuilah, seni adalah wujud ekspresi manusia itu sendiri. Wujud real dari olah cipta rasa dan karsa. Bahkan Tuhan pun mengajarkan seni, masak? Lhah, Anda dan tata semesta ini tidakkah merupakan karya seni yang menakjubkan? kitab-kitab dengan nada-nada melankolis itu apakah bukan seni tingkat tinggi?
0 komentar:
Posting Komentar