“Sekarang kau tahu kan kenapa kuhadiahkan kepadamu nama elang?”
Tiba-tiba suara itu bergema di telingaku. Aku taka sing dengan suara itu. Benar-benar tak asing. Itu suara Lintang, tapi di sini aku sendiri. Di sini tak ada Lintang. Kembali aku menerawang angkasa. Menatap mega-mega dengan segala kemegahannya. Merasakan hembusan angin paling lembut menerpa bulu kudukku. Meresapi segala rupa suasana lengkap dengan semburat senja di pantai itu.
Elang, ah elang… apa karena ini ia memanggilku elang? Aku bertanya pada diriku sendiri. Selama aku terlepas dari jiwa sang elang selama itu pula aku berubah seperti bebek. Bergerombol, terombang ambing kesana kemari. Satu ke kanan ikut ke kanan, satu ke kiri ikut ke kiri. Begitu seterusnya.
“ketahuilah, bebek selalu berenang bergerombol, sedang sang elang selalu terbang sendirian”, tiba-tiba aku pun teringat pesan sahabatku, Lintang.
“ Kau sudah ditakdirkan seperti elang maka bersikaplah engkau layaknya elang. Elang bukanlah bebek, apalagi ayam. Engkau bisa terbang tinggi kawan, sadari dirimu bahwa kau adalah elang, bukan bebek, bukan ayam”
Senja semakin menampakkan wajah cantiknya. Aku hanya terdiam. Memejamkan mata dan terbang jauh-jauh ke kedalaman hatiku sendiri.
Elang memang harus “miber” bukan berenang, bukan berjalan layaknya ayam. sial...
0 komentar:
Posting Komentar