Selasa, 19 April 2011

MENAKLUKKAN KAMPUS IPB

Dari sini, dari desa petir yang cukup tinggi ini kulihat dikejahuan sana gedung beratap biru tampak berkelip-kelip di depan mataku. Sejenak aku pun menerawang jauh-jauh hari sebelum aku menapakkan kakiku di bumi pajajaran ini. Aku teringat ketika dulu seorang kawanku, penyair muda yang brilliant Galih Pandu Adi mengajakku ke watu layar sekedar untuk sowan ke makam seorang Sultan (entah aku tak tahu namanya). Dari sana kulihat lautan Utara Jawa tampak membiru dengan buih-buihnya yang putih bak hujan salju.

Ah, kembali lagi di sini. Waktu 5 tahun terasa begitu singkat sesingkat kehidupan di dunia ini. Rasa-rasanya baru kemaren aku datang dari desa paling miskin di ujung pantura itu dan menapakkan kaki di bumi pajajaran ini. Namun sekejap, rentang waktu itu seolah ditelan hukum relativitas enstein mengkerut, mungkret hingga rentang waktunya sekilas lepas, bebas memotong usia remajaku yang penuh dengan gejolak ini.

“Ooh bunda ada dan tiada dirimu kan selalu ada di dalam hatiku…”

Hanya syair lagu itu yang masih melekat likat di kedalaman tempurung otakku, saat toga kebesaran yang sedikit kedodoran melingkari diameter kepalaku. Gambar-gambar kenangan langsung berseliweran, mulai dari kehidupan asrama yang penuh warna, menjadi menteri keamanan gedung C2 yang kemalingan sendiri, menelanjangi calon ketua BEM TPB di kantin Pak Epi, Menginjak-injak gedung rektorat, sampai gambar sewaktu aku dikejar 3 ekor anjing paling sialan di belakang asrama itu. Sungguh sial…

Hah… entah, malam ini aku kembali teringat akan kampus hijau tempatku dulu bermain-main dengan angka dan aksara. Atau karena kelompok-kelompok paguyuban ahli sorga yang selalu tak bosan-bosan mengajak orang-orang lugu untuk dijadikan mortir bom bunuh diri, aku tak tahu. Peristiwa itu pun tak lepas dari ingatanku. Memang, di sini, di bumi pajajaran ini, di kampus hijau ini terlalu banyak kelompok-kelompok paguyuban ahli sorga yang tak bosan-bosan menebar jaring laba-labanya sekedar untuk melebarkan sayap menyebarkan ideology terselubungnya. Bagaimana aku bisa mengatakan tak terselubung jika diam-diam aku pun pernah diajak untuk ikut dengan kelompok mereka hanya karena aku berjenggot. Aih, lucu sekali… 

menginjak gww

0 komentar: