Sore itu aku bertemu dengan sahabat karibku, Lintang. Seperti biasa tanpa didahului dengan perjanjian terlebih dahulu, senja menjadi muara pertemuan kami di sebuah kedai kopi. Kedai kopi inilah saksi bisu pertemuan kami. Pertemuan pertama yang berujung pada pertengkaran kecil hanya karena saling lirik dan salah paham. Sorot mataku memang tajam, bahkan mungkin terlalu tajam bagi seorang perempuan. Pantas saja sebelum mengenal lebih dekat, para perempuan di kampus itu takut untuk mendekatiku.
Lintang, begitu ia minta disebut saat mengenalkan namanya padaku. Dan ia menghadiahkan nama Elang kepadaku. Lintang memang seorang pemuda yang tampan. Terlalu sempurna untuk dijadikan pujaan hati para dara muda. Wajahnya tampak bersinar. Tubuhnya tegap dengan tangan-tangan kekar. Namun demikian sorot matanya terasa menyejukkan. Dialah yang menjadi sahabat sejatiku walau pada awalnya kami bertengkar saat pertemuan kami di kedai ini.
“hai Elang, sejak kapan kau berada di sini”. Seperti biasa aku selalu mengenali suaranya. Suara lembut itu dengan nada yang mantab selalu saja mampu menembus ke kedalaman hatiku. Vibrasinya merembes masuk bahkan sampai ke ruang-ruang DNA tubuhku.
“Lintang, punya ajian apa kau ini. Tiap kali aku nongkrong di sini dalam keadaan bingung selalu saja kau datang.” Lintang ini memang aneh. Ia selalu datang di saat yang tepat. Terutama sekali dalam hal memberi wejangan-wejangan khasnya yang kadang masih sulit dipahami saat ia mengatakannya padaku.
“kenapa lagi kau Elang? Hehe mari kita ngopi dulu. Senja ini terlalu cantik untuk kita lewatkan”
Aku memesan secangkir kopi untuk sahabatku ini. Seperti biasa senja yang indah mewarnai perbincangan kami. Berbincang di kala senja memang terasa sangat nikmat. Apalagi di tempat ini, sebuah gambar hidup terbentang di hadapan mata kami. Gunung menjulang begitu gagahnya. Padi menghijau diselingi desiran angin, kekupu liar, dan segerombolan sriti berterbangan entah hendak mengabarkan berita apa.
“tidak usahlah kau ragu Elang, keragu-raguanmu menunjukkan bahwa jiwamu itu belumlah tenang. Ketahuilah Elang, keraguanmu itu disebabkan ketidak selarasan antara hati, pikiran, dan tindakanmu. Ikuti kata hatimu Elang. Sejak mula jiwamu itu lebih tua dibanding dengan umur fisikmu ini. Fisik ini sejatinya adalah penjara bagi jiwamu itu. Sebuah keterikatan yang hanya mengkungkung kesadaranmu akan hidup. Orang-orang tua kita dulu berpesan: matilah dalam hidup, atau istilah jawanya mati sakjroning ngaurip. Bebaskan jiwamu pada kemelekatan dunia maka engkau akan menemukan kemerdekaan. Bukankah kita dilahirkan di dunia ini dengan sebuah kemerdekaan? Lihat dirimu Elang. Bisakah kau melihat dirimu sendiri? Untuk bisa melihat dirimu, kau harus “telanjang”
Selalu saja Lintang menelanjangiku dengan ucapan-ucapannya yang tak bisa aku mengerti saat itu juga. Mati dalam hidup, bahasa apalagi itu. Sebuah kosakata yang sulit untuk dicerna. Namun seiring berjalannya waktu aku baru bisa mengerti dan memahami apa maksud dari ucapannya itu. Mati dalam hidup berarti telah menghilangkan kemelekatan pada dunia. Orang mati memang tak membawa apa-apa sama seperti saat kita baru dilahirkan di dunia. Jadi, untuk apakah sebenarnya kehidupan ini jika tak dibawa sampai “mati”. Kita hanyalah sekumpulan benang rantas yang juga koyak kelak. Segala keinginan selalu bersumber dari nafsu. Nafsu selalu menginginkan kepuasan pada si aku. Inilah yang disebut sebagai neraka itu. Neraka itu nyata ada dalam hidup ini. Ketika api nafsu ini membara, maka sebenarnya kita hanya menciptakan neraka bagi diri sendiri.
Mati dalam hidup berarti telah mengendalikan ego. Terutama sekali ego pengakuan diri akan hal-hal yang berbau duniawi yang seringkali justru mengungkung jiwa itu dalam penjara yang makin rapat. Ego yang tercipta dari buah pikiran. Bahkan ketika seseorang berkeinginan untuk “bertemu dengan Tuhan” malah menjadikan dirinya menjauh dari Tuhan itu sendiri. Perasaan “kehilangan Tuhan” hanya terjadi dalam pikiran. Bukankah Tuhan itu dekat bahkan lebih dekat dari urat nadi kita?
Pembebasan dari penjara pikiran hanya bisa dilakukan dengan melepas pikiran itu sendiri. Mengendapkannya hingga pikiran itu berhenti dan kita memasuki tahap ektase yang paling dalam. Sejenak, kebahagiaan, kedamaian itu akan merasuk kedalam hati. Saat itulah kemerdekaan benar-benar muncul. Dan hanya manusia merdekalah yang bisa mengungkapkan kemanusiaannya. Sebuah rasa kemanusiaan yang bisa menjadikan dirinya sebagai perantara tangan Tuhan untuk turut menjaga keharmonisan dunia.
Senja semakin merah. Sekumpulan sriti telah pulang ke rumahnya berganti dengan sekumpulan kelelawar yang mulai tampak mencari makan. Suara jangrik, ngengat malam pun mulai terdengar. Ah, senja ini memang terlalu cantik untuk dilewatkan.
gambar dari: http://rivafauziah.files.wordpress.com dan http://memori-bintangjatuh.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar