Posting kali ini kembali lumayan berat karena kalau sudah nyrempet-nyrempet kata sakti Tuhan segala sesuatunya akan mudah sekali menyentil, mencubit, menampar, atau merong-rong keimanan seseorang dalam berkeyakinan. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk adu benar, bukan untuk soksok-an. Tulisan ini hanyalah untuk urun rembug, sharing pengetahuan dan pengalaman mengingat kondisi keberagamaan yang semakin semrawut tanpa toleransi sedikitpun. Bahkan baru-baru ini sekelompok orang dengan ideologinya, dengan begitu teganya menculiK seseorang untuk dicuci otak dan diiming-imingi surga dengan bidadari-bidadari cantik, kemampo dengan mahkota paling ranum di lapang dadanya (lhah, kalau cewek apa dapat jejaka-jejaka tampan juga ya?).
Keyakinan dalam berTuhan menjadi teramat penting sebab adakalanya jika keyakinan itu baru sebatas yakin saja maka sangat mungkin untuk digoyang. Jika keyakinan itu baru sebatas yakin saja, maka adakalanya ia mudah dirobohkan. Keyakinan itu harus menghujam kuat-kuat ke dalam. Ia ibarat paku bumi dimana sebuah rancang bangun dermaga pelabuhan akan dibangun di atasnya. Jikalau saja paku bumi itu hanya nyungsep sepuluh senti saja, walhasil sangat amat mudah sekali ia roboh.
Berkeyakinan yang seperti apa seharusnya?
Seorang manusia sejak mulai berpikir pasti akan menemui pertanyaan paling mendasar ini walau entah waktu ia masih remaja atau bahkan setelah ia mulai menua. Aku pun sama, walau dibesarkan di kota (eh desa ding) yang kuat budaya santrinya sesekali juga keyakinan akan berTuhan itu goyang. Mobat-mabit, dan tak jarang pikiran itu terus saja datang menusuk-nusuk kedirian seorang remaja yang baru bertumbuh. Ya, seorang remaja yang notabene baru belajar menemukan dirinya selalu dihadapkan pada berbagai konflik yang pelik. Apalagi tak ada guru. Apalagi tak ada teman berbagi pengalaman.
Dulu, ya dulu sekali aku suka menyepi menyelami kedirianku yang sedang dilanda kecemasan mendalam. Keimanan itu dipertanyakan.
Kenapa aku harus sholat?
Kenapa aku harus beragama Islam, kakekku nyatanya tak Islam?
Kenapa aku harus percaya Al-Quran?
Benarkah Al-Quran itu perkataan Tuhan?
Itu kata siapa?
Pak kyai itu kata siapa?
Nabi Muhammad itu kata siapa?
Kata Tuhan itu kata siapa?
Jika seorang bayi lahir lalu mati masuk surga, apa tak lebih baik tidak beragama saja? Bukankah bayi itu tak beragama?
Kata siapa bayi itu beragama Islam?
Balik lagi, balik lagi… pertanyaan ini selalu muter-muter seperti roda gila.
Alhasil kita sejak dulu memakai agama katanya. Dan jika keyakinan itu masih dalam pondasi katanya maka ia akan mudah sekali digoyang. Ia akan mudah sekali dipatahkan. Yang muncul kemudian hari adalah kita melakukan pembenaran apalagi jika itu dibenarkan oleh kebanyakan orang, mayoritas orang. Mau tak mau pembenaranan itu dijadikan kebenaran yang sebenarnya mudah untuk dipatahkan. Seorang yang tak tahu atau lebih tepatnya tak mau tahu selalu saja menjawab: hal itu tabu untuk ditanyakan. Hah.. bagaimana bisa sesuatu itu dianggap sebagai kebenaran jika ia anti pertanyaan, anti kritikan.
Sudah dari dulu jika kelompok minoritas itu mengatakan hal yang nyleneh dan dianggap membahayakan “kebenaran” yang diyakini oleh kebanyakan orang maka ia tak jarang dibumihanguskan. Kisah Al Hallaj, kisah Syeh Siti Jenar adalah segelintir orang yang semuanya dihabisi di ujung “pedang”. Menyimpang, sesat dan menyesatkan itulah alasan kaum mayoritas yang merasa digoyang keyakinannya.
Aku jadi teringat perkataan Mahatma Gandhi. Kira-kira begini: jika saja manusia di bumi ini jumlahnya ada tiga milyar, maka harusnya ada tiga milyar agama.
Monggo berkomentar…
0 komentar:
Posting Komentar