Gempa, banjir, longsor, dan bencana alam lainnya adalah isyarat alam kepada manusia untuk dibaca. Alam murka, alam murka, alam murka. Hei, alam itu mati gimana bisa murka???? Aduh tunggu dulu, apa itu hidup dan mati itu. Apa definisinya. Apa parameternya???? Bukankah definisi itu kita sendiri yang membuat???? Konsensus antara kita, manusia???? Ehmmm di bogor “pelem” itu adalah pepaya tapi di kampungku “pelem” itu adalah mangga. Nah seperti itulah konsensus. Kesepakatan. Lhah, bagaimana dengan yang sementara kita sebut mati tadi???
Sebuah penelitian menarik tentang air yaitu bahwa jika memperlakukan air secara baik-baik molekulnya berubah menjadi bentuk yang cantik. Demikian pula sebaliknya. Jadi ternyata yang dikatakan benda mati tadi semisal air terpengaruh juga dengan cara perlakuan kita terhadapnya. Yah, baiknya berlaku bijaklah pada alam ini. Kita ini sama-sama makhluk. Alam makhluk, manusia juga makhluk. Jadi ya jangan menyakiti sesama makhluk. Jika alam bergolak. Berarti bijaknya manusia harus instropeksi diri. Lho ini kenapa????? kesadaran nenek moyang kita dahulu sepertinya sudah sangat tingginya. Buktinya peninggalan warisan budaya itu masih ada: sedekah laut, sedekah bumi. Budaya pun berkembang. Dulu nenek moyang kita bisa membuat candi borobudur tanpa semen. Tanpa hitung-hitungan fisika. Lihat pula rumah-rumah adat. Bentuknya yang beraneka ragam itu adalah upaya penyelarasan dengan alam. Di kampung-kampung pedalaman ada saat-saat dimana masyarakat boleh menangkap ikan ataupun dilarang menangkap ikan. Jika diteliti, lho ternyata pada saat tidak boleh menangkap ikan, ikan-ikan itu masuk masa kawin. Masa memijah. Aih, bukankah ini merupakan bentuk dan ungkapan terimakasih yang dalam maknanya??? Menjaga alam ini sebenarnya kan juga untuk manusia sendiri tho????
Akan tetapi, sekarang ini budaya itu ironisnya mulai ditinggalkan. Bahkan bagi sebagian kalangan dianggap budaya klenik. Waduh sangat ironis sekali. Lalu demi sebuah “kebenaran” sampai ada tumpah darah. Sumpah serapah. Yang pasti ternyata saya sebagai orang awam dan fakir ini merasa tak nyaman. Yah, manusia mana yang merasa aman dengan banyaknya teror???? “kebenaran” yang harusnya menurutku memerdekakan malah menjadi sebaliknya, hidup menjadi terlihat kaku, tak akur, dan penuh dengan tekanan. Manusia dipaksa begini begitu, ah terbelenggu. “kebenaran” itu katanya membawa rahmat dan menentramkan, tapi nyatanya saya kok jadi tak nyaman. Emosinya itu lho. . .
Jikalau “kebenaran” itu memang benar tentulah ia akan diterima oleh yang namanya manusia. Karena manusia, segala manusia itu ingin hidup bebas, bersaudara, dan diperlakukan secara manusiawi. Manusiawi itu yang seperti apa tho???? Manusiawi berarti ya manusia di sini, di sana, di Indonesia, di Afrika, Di India, Di Arab, Di Amerika, di belahan bumi manapun menghendakinya. Itulah nilai-nilai universal. Sesama makhluk, sesama manusia lha mbok ya yang akur. Dengan alam pun juga harus akur. Lha sekarang ini dengan sesama manusia saja tak akur. Apalagi dengan alam???? Waduh pantas saja alam murka.
CATATAN USANG Monday, May 03, 2010, 10:10:59 AM
0 komentar:
Posting Komentar