Sabtu, 28 Mei 2011

Boncu kawanku


Boncu, mendengar nama itu aku langsung saja teringat sebuah wajah tak berdosa yang selalu tampak santai di kehidupannya.

 “ngopi kak genk”

Kata-kata itupun langsung meluncur ke dalam ingatanku. Tergambar juga dahinya yang super lebar, berkilau disinari sang surya. Samar-samar aku mencium bau yang tak asing dari indera penciumanku. Bau yang serupa parfum kata seorang guru sejarah SMA-ku dulu. Ya, bau itu adalah bau parfum tembakau. 

Belajar dari seorang Bonchu
Apa yang kupelajari dari si Bonchu kawanku ini adalah satu sikap yang langka dimiliki oleh kebanyakan orang sekarang. Sebuah sikap yang sebenarnya harus dimiliki oleh para petinggi di negeri ini. Sikap itu adalah kejujuran.

“Chu, dari tadi kok nggak pesen kopi?” kata seorang temanku di “kantor”

“iya, nanti aja”

“mbak, kopi satu lagi buat Bonchu” temanku langsung berinisiatif memesankan secangkir kopi manis untuknya.

“chu, rokoknya ini lho tinggal pilih, mau dharum, mild, samsu tinggal pilih”

Anda tahu kenapa si Bonchu ini ngggak mau pesen kopi? Itu semua karena ia sedang kena virus kantong kering alias nggak punya duit. Dan dengan sikapnya yang begitu secara tidak langsung ia telah mempraktekkan sebuah sikap yang mulia. Bahwa kalau nggak punya ya nggak punya. Nggak usah berlagak punya. Cobalah Anda lihat sikap para abege-abege sekarang. Mereka kebanyakan terbawa arus modernisasi dan berlomba-lomba untuk bergaya. Jikalau temannya ikut mode baru, mereka pun lalu ikut-ikutan seperti itu. Dan tak jarang demi mendapatkan wanita pujaannya, mereka bergaya layaknya seorang yang berduit. Mereka sepertinya lebih bangga menjadi orang lain daripada menjadi dirinya sendiri.

Simbolisasi (20 Februari 2010)


Waktu kecil aku pernah berpikir apakah apa yang kulihat ini sama dengan yang kalian lihat. Apakah jika aku melihat manusia dengan bentuk sedemikian rupa dalam pandanganku itu sama juga dengan pandangan kalian??? Jangan-jangan yang namanya manusia dengan bentuk yang demikian dalam otakku, dalam otakmu berbentuk lain entah bagaimana. Tapi karena apa yang ada dalam pandanganku dan apa yang ada dalam pandangan kalian memiliki nama yang sama jadi walau beda bentuk, saat aku bilang ini kepala maka kalian juga setuju ini kepala. Bisa jadi apa yang ada dalam otakku dan kusebut itu kepala bentuknya lain dalam otak kalian, tapi sama-sama kusebut kepala. 

Tuhan itu maha luas ilmunya. Bahkan sering diumpamakan jika lautan adalah tinta dan bumi ini adalah kertas masih saja belum sanggup menuliskannya. Oleh karena itu, aku sering mempunyai pikiran bahwa apa yang terangkum dalam kitab itu adalah bahasa simbol. Bahasanya bukanlah bahasa pemaknaan biasa. Karena bahasanya bahasa simbol jadi yang sanggup mengambil inti pelajarannya tentulah bukan orang-orang biasa. Ia adalah orang berilmu. Oleh karena itu, bahaya sekali jika ayat-ayat  ditafsirkan oleh orang-orang yang tidak berilmu apalagi kemudian dipaksakan kepada orang lain. Jika ayat ini ditafsirkan oleh orang yang tidak bersih hatinya maka akan timbul keegoan dalam penafsirannya. Oleh karena itu ada suatu ayat yang menyatakan bahwa orang tidak boleh memegang kitab jika tidak dalam keadaan suci. Nah, dulu waktu kecil aku sering dinasehati dan diberi pengertian oleh guru ngajiku kalau mau pegang kitab itu harus wudhu dahulu. Karena wudhu itu mensucikan. Apakah demikian yang dimaksud dengan suci???

Wudhu, membasuh telapak tangan, muka, kaki, telingga, dan sebagainya. Apakah dengan demikian dianggap suci???? Lalu suci mana orang wudhu dengan orang mandi???. Padahal banyak orang yang wudhu sehabis sholat ngambil inventaris masjid. Orang habis wudhu, habis sholat, pulang ngambil sandal baru milik orang lain. Apakah demikian yang dianggap suci???? Oleh karena itu aku pun juga berpikir jangan-jangan wudhu itu pun adalah bahasa simbolis. Orang mencuci telapak tangan berarti tangan haruslah bersih. Bersih dari apa???? Orang mencuci mata, telinga, kaki, maka mata, telinga, dan kaki haruslah bersih. Bersih dari apa???? Dan apabila sudah bersih dan suci maka dia baru bisa memaknai ayat. Siapa yang mengajari??? Tentulah bukan manusia. Tentulah Dia yang bikin ayat.

Untuk apa wudhu????
Untuk apa sholat????
Kenapa gerakan sholat demikian????

Tentulah semua itu ada maksudnya. Dan jika sholat itu benar maka efeknya sudah dijelaskan, yaitu mencegah perbuatan keji dan munkar. Bagaimana pendapat Anda?

BANGGA SEBAGAI ORANG INDONESIA

Indonesia, Negara kesatuan republik yang cantik ini sebenarnya adalah surganya dunia. Aku merasa sangat beruntung sekali hidup di Negara ini. Bayangkan saja, kekayaan alamnya sangat berlimpah. Terlalu banyak jenis tanaman yang bisa ditumbuhkan di negeri ini. Ini berarti aku tak akan susah untuk makan “madu” dari tanaman. Contohnya, tiap kali aku pulang kampung, aku sampai eneg untuk makan mangga. Tak jarang mangga aku sedekahkan kepada codot dan lamur malam hingga tersisa bijinya saja di ranting pohon. Belum lagi jika aku lihat laut. Dulu perutku selalu penuh dengan daging cumi, kakap, kerapu, dan berbagai jenis ikan laut lainnya. Ya, dulu sewaktu aku berada di pulau, aku menikmati sekali menjadi bagian dari nusantara ini. Tiap malam berbekal kopi, rokok, dan kail sambil menikmati padang bulan aku menyeret satu-persatu ikan dari habitatnya. Enak sekali bukan? 

Yang lebih membanggakan lagi Indonesia, Negara republik yang cantik ini ternyata adalah Negara yang paling dermawan, welas asih, dan tidak sombong. Memang pantaslah jika Negara ini disebut sebagai Negara besar dan kaya raya. Saking kayannya Negara ini tiap tahun sedekah emas, bahan tambang, bahkan pasir pun di sedekahkan ke Negara sebelah. Beberapa tahun yang lalu bahkan Negara ini sanggup menyedekahkan pulaunya. Negara ini sekali lagi adalah Negara yang paling dermawan, welas asih, dan tidak sombong. Saking tak ada kerjaan maka ada yang rela membantu Negara-negara yang masih butuh sumberdaya manusia. Wah, wah, wah Negara ini memang Negara yang besar. Pantas saja kalau banyak karya-karya besar dihasilkan di sini. Mulai dari bahasa, seni musik, seni tari, adat istiadat semuanya berlimpah ruah di negeri ini. Beberapa produk budaya bahkan sampai-sampai diroyok  juga oleh Negara lain. Benar-banar kaya negeri ini.

Apa masih kurang? Baik, aku tambahkan. Negeri yang cantik ini ternyata juga gudangnya para pemain drama. Para comedian, pemain lenong, pemain teater yang penuh imajinasi dan gelak tawa. Tidakkah kita merasakan bahwa panggung teater PSSI itu merupakan seni tingkat tinggi, tidakkah Anda hanyut dan tenggelam dalam teater-teater panggung politik yang penuh dengan intrik itu? Sungguh, jika kita mau mencermati mereka, maka kita dapat merasakan bahwa para pemain drama kita itu memilki jiwa seni tingkat tinggi. Dan manusia yang mempunyai seni tingkat tinggi tentulah manusia yang mampu mendayagunakan cipta rasa dan karsanya.

Oleh karena itu, jika aku, Anda tak bisa berkarya berarti sebuah kemunduran telah menimpa negeri yang cantik ini. Entah, pembelajaran apa yang hilang dari generasi ke generasi sampai-sampai generasi sekarang emoh untuk memakai identitas dirinya sendiri. Emoh untuk mewarisi ilmu tingkat tinggi yang dimiliki oleh para pendahulunya. Mulai dari budaya, bahkan kiblat pendidikan selalu diidentikkan dengan kemajuan teknologi di luar sana. Semua didasarkan atas materi, asesoris luarnya saja. 

Perhatikan, sebuah karya selalu lahir dari buah pemanfaatan cipta, rasa, dan karsanya manusia. Tak ada karya berarti potensi cipta, rasa, dan karsa itu tak dimanfaatkan. Dan itu menunjukkan ketakberdayaan manusia dalam mengeksplorasi dirinya sendiri. Ia tak mampu memanfaatkan potensi yang telah dianugerahkan kepadanya.

Aku jadi ingat kata-kata Pak Karno kepada menhan Amerika waktu jamannya Presiden AS, John F. Kennedy:

Kepada Wilson, Bung Karno tidak sekedar mengulurkan tangan untuk bersalaman. Lebih dari itu, Bung Karno dalam bahasa Inggris yang fasih berkata, “Kombinasi baju dan dasi Tuan tidak bagus,” berkata begitu sambil Bung Karno membetulkan ikatan dasi yang kelihatan miring. Selesai merapikan dasi Menhan Amerika Serikat itu, Bung Karno melanjutkan ucapannya, “Tuan boleh punya bom atom, tapi kami punya seni tingkat tinggi.”

Ada apa dengan seni? Ketahuilah, seni adalah wujud ekspresi manusia itu sendiri. Wujud real dari olah cipta rasa dan karsa. Bahkan Tuhan pun mengajarkan seni, masak? Lhah, Anda dan tata semesta ini tidakkah merupakan karya seni yang menakjubkan? kitab-kitab dengan nada-nada melankolis itu apakah bukan seni tingkat tinggi?

Senin, 09 Mei 2011

CINCIN IKHLAS BUAT SANG MUSAFIR


Sore ini aku bertemu dengan orang beruntung itu. Ya, entah kenapa sore ini aku kepengen nongkrong sendirian di ladang ketela itu, menikmati segala rupa keindahan yang seringkali luput dari pandangan. Bentang alam di sini memang terlihat lumayan. 

“mas, punya korek mas?”

Seorang lelaki tengah baya menghampiri diriku yang sedang duduk nyaman sambil menghisap sigaret. 

“oh, ya Pak monggo”

Aku menyodorkan sebuah korek gas kepadanya. Pembicaraan basa-basi pun tercipta setelahnya. Aku rasa-rasakan sepertinya ia butuh teman bicara. Ia mulai bercerita tentang teman2nya dan mengapa ia sampai di ladang itu. Ia pun kemudian mengajakku untuk berleha-leha di sebuah gubuk tak jauh dari tempat itu. Hmm… lumayan enak sih.

“saya, capek sekali mas. Dua hari saya tidak tidur. Saya jalan dari Cirebon ke sini. Punggung saya sampai bengkak ini”

“lhoh, emangnya bapak tinggalnya di mana?”

“saya tidur di musholla mas”

“oooo, lalu di sini dalam rangka apa pak?”

“saya sedang riyadhlah”

“wah, apa itu Pak”

“riyadhlah itu mendekatkan diri kepada Allah, teman-teman saya sudah pada jadi, tapi biarlah saya masih teruskan saja”

“ow… begitu, terus riyadhlahnya sampai kapan pak?”

“ya sampai ketemu, saya nggak tahu sampai kapannya. Mas bisa tolong pijitin saya nggak mas?”

“bisa pak, mari saya pijit”

Mendadak aku menjadi seorang ahli mijit memijit. Katanya pijitanku enak, padahal aku asal memijit saja. Tampak dia keenakan aku pijit sampai-sampai ia minta ijin untuk berselonjor menelungkupkan badan terlebih dahulu. Detik demi detik tlah tanggal. Kegiatan pijit memijitpun kusudahkan.

“sudah pak, gimana dah enakan?”

“oh, ya makasih”

Perbicangan kemudian berlanjut. Petuah-petuahnya menjalar kemana-mana dan aku sampai tak bisa bicara. Benar-benar sepertinya ia butuh teman bicara. 

“wah pak, kalau ketemu ama orang yang bukan islam terus gimana pak?”

Beliau tampak sedikit kebingungan.

“temen saya ada lho pak yang semula islam trus jadi budha. Kalau menurut saya sih bagaimana orang itu memilih yang pas dihatinya saja. Tiap jalan itu sebenarnya yang dicari juga sama. Di islampun nyatanya banyak macem-macemnya”

“klo islam ya terserah mau ikut madzab yang mana”

Ah, aku lupa perbicangan selanjutnya. Beliau banyak cerita tentang pengalamannya selama bertualang. Sepertinya beliau memang ingin curhat. Pelajaran yang bisa kupetik darinya adalah tentang kesabaran dan keikhlasan. Di sisi lain, aku sempat berpikir betapa sempitnya jalan untuk menemukan Tuhan. Bukankah Ia lebih dekat daripada urat nadi kita? Haruskah manusia itu bersusah-susah seperti itu untuk menemukan “pencerahan”. Jalan itu seolah dibuat elitis sekali. Belajar dari cerita Budha, nyatanya sang Budha itu justru menghindari jalan bersakit-sakitan seperti itu. Mungkin beliau ingin menghilhami perjalanan para wali. Ah, terlepas dari itu semua aku tak berani ngomong blak-blakan dengan beliau. Bisa jadi beliau malah langsung kecewa dan terluka hatinya. Yang terpenting bagiku, semoga beliau menikmati jalan yang dipilihnya. Bagiku orang yang “tercerahkan” itu tak melulu harus ketemu hal-hal yang tampak aneh dan ajaib. Jika aku jelaskan tentang fisika kuantum, hukum ketertarikan, meditasi, atau tetek bengek pengetahuan kekinian mungkin beliau akan sangat tidak tertarik. Hah, aku tak tahu. Apa aku yang terlalu dungu untuk mengerti apa yang beliau katakan? 

Seringkali keyakinan akan pertolongan dan tanda Tuhan itu dibuat terlalu kaku. Aku jadi teringat kisah kakek tua yang desanya kebanjiran. Kakek tua itu sangat yakin sekali bahwa Tuhan akan menolongnya. Dan memang benar. Tuhan sudah mengirimkan penduduk dari desa sebelah. Tuhan sudah mengirimkan tim SAR. Dan untuk yang ketigakalinya Tuhan mengirimkan helicopter untuk menolong si kakek. Akan tetapi dengan teguhnya si kakek menolak segala jenis bantuan itu. 

ooo0ooo

“mas, boleh aku minta cincinnya buat kenang-kenangan?”

Hah, mungkin ini orang yang beruntung itu. Ia adalah orang keempat yang meminta cincin bermata jeli ini. Entah ada daya tarik apa di dalamnya. Sudah tiga kali pertemuan seperti ini menghampiriku. Dan ketigakali pula aku tak melepaskannya. Sejak saat itu aku berjanji pada diriku sendiri, jika nanti ada lagi pertemuan yang seolah kebetulan seperti ini, berarti ialah yang akan kuberi. 

“oh ya pak, ini silakan”

Saatnya belajar ikhlas. Cincin kesayangan itu ternyata bukan hakku lagi. Sampai jumpa saudaraku semoga apa yang engkau cari segera ketemu. Aku pamit…

Minggu, 08 Mei 2011

LEK DHI, KAWANKU

Mendengar namanya pikiranku langsung mencari folder dalam tumpukan hardisk ingatan di memori otakku. Sarching.. searching… dan terpampanglah sebuah folder dengan tulisan 25 Desember. Ya, tanggal dan bulan itulah yang setiap kali muncul ketika aku mendengar namanya. Ruddy Prasetyo, itulah nama Indonesianya. Aku lupa nama Chinanya, ia keturunan China, berkulit kuning namun sangat medhok berbicara Jawa.

Apa yang akan aku ceritakan di sini mungkin dapat dijadikan refleksi mengenai keberagamaan kita yang rasa-rasanya semakin menemukan titik nadirnya. Semakin carut-marut, semrawut, seperti terkena penyakit menahun yang sudah akut.

Lek Dhi, begitu seringkali ia dipanggil adalah seorang katholik yang taat (semoga ngga salah inget). Namun demikian, ia dapat berbagi kebahagiaan kepada kami ketika tiba tanggal 25 Desember. Di hari Natal itu ia selalu mengundang kami untuk sekdar menikmati kenduri kecil-kecilan. 2 ekor ayam panggang selalu menjadi menu andalan ketika kami berkunjung di gubuk asrinya.

“ayo sini, ini ayamnya disembelih sendiri ya”

Begitu ayahnya mempersilahkan kami untuk memotong ayam sendiri. Betapa toleransi keberagamaan sangat terasa ketika itu. Rasa toleransi yang kini sudah menjadi barang langka. Barang langka yang semakin hari malah semakin amoh. Semakin tenggelam oleh keegoisan dalam beragama. Semakin tenggelam karena betapa sempitnya pemahaman dalam beragama.

Rasa-rasanya, tak ada agama yang akan menanggalkan kemanusiaan. Ketika sebuah nilai kemanusiaan telah hilang dalam keberagamaan, mungkin kita patut untuk mempertanyakan: sudah benarkah aku dalam beragama?