Bicara mengenai kata "tercerahkan" atau "mencerahkan" atau apalah itu, aku seperti orang dungu saja. sungguh kata-kata itu tak sepenuhnya aku mengerti. Yang kutahu kata itu menyangkut hubungan keterikatan dengan garis vertikal yang tak sederhana seperti pertambahan satu dutambah satu. Jika sudah mencangkup ajian sakti "tercerahkan" lebih baik aku mandeg saja. Karena diri ini terlalu kerdil menjangkau saripatinya.
Tak usah jauh-jauh, bahkan kata "suci" masih sulit dialami apalagi memberi "pencerahan". Sewaktu dulu aku mengaji seringkali aku disuruh wudhlu dulu agar boleh menyentuh kitab. Tak bisa aku bayangkan bagaimana itu makna suci bisa dicapai hanya dengan membasuh beberapa anggota badan. Aku kira suci di sini maknanya lebih melangit dan dalam, yaitu bagaimana pendaran gelombang hati bisa selaras dengan pendaran gelombang "langit". Aku kira hidayah itu takkan mampu ditangkap oleh receiver gelombang yang cenat-cenut, byar pet, atau kemresek.
Dalam rangka menyepi kiranya sedikit banyak bisa aku mengerti kenapa saudara-saudaraku disana memiliki "ritual" yang demikian. Menyepi kiranya tak hanya menyendiri tok. Tak hanya perbuatan tanpa makna. Lelaku itu pastinya memiliki sebuah rahasia mengapa harus dijalani. Sang Rosul Agung sepertinya juga suka sekali dengan "ritual" menyepi. Bahkan mungkin dulu beliau menyepi setiap hari. Dan sampai pada masanya hatinya sudah suci hingga mampu menangkap wahyu agung. Iqro, iqro, iqro begitu bunyinya. Oh Sang Raja Sepi..... betapa diri ini sangat sepi menyebut namamu.
a,b,g,s,g,d,h,e,h,e,h,e.... abjad-abjadMu berhamburan di tata semesta ini. Aku harus memanggilmu apa? atau lebih bijaknya aku menyepi seperti bahasaMu yang sepi. Namamu melampaui kata-kata. Bagaimana aku bisa tahu nama akrab kata-kata?
Bicara mengenai kata "tercerahkan" dan "mencerahkan" atau apalah itu, kembali aku katakan:
Aku ini orang dungu
ohm shanti ohm...
0 komentar:
Posting Komentar