Diambil dari: http://jayayea.wordpress.com/2010/09/19/biarkan-anakku-jadi-kuli/
BIARKAN ANAKKU JADI KULI
Suatu Statement yang bertolak belakang dari kata-kata almarhum ayah saya (yang juga seorang karyawan),”Lebih baik kecil jadi bos, daripada gede jadi kuli!” Tapi itulah kenyataannya. Mayoritas orang tua secara tidak langsung menggiring anaknya jadi kuli. Jika Anda memiliki seorang anak yang sekarang bingung mau jadi apa? Coba ingat-ingat kembali, apa yang telah Anda ajarkan bagi mereka? Sejak dari usia dini, mereka diajarkan untuk “tidak membuat kesalahan”, betulkah?! Sebagian atau mungkin mayoritas pembaca akan protes (saya juga pas dengar kata-kata ini dari Om Bob Sadino juga bertanya-tanya),”Emang mau ngajarin anak kita berbuat salah atau gagal?” Saat anak Anda belajar berjalan dan mulai memanjat, Anda berkata,”Eehh, JANGAN manjat-manjat, nanti jatuh!” Doktrinisasi lainnya,”Belajar yang rajin, sekolah yang tinggi, biar gampang CARI KERJA”. Kala anak kita ingin memulai usaha sambil kuliah, Andapun berkata,”Udah, selesaikan sekolahmu dulu…!” Apa yang dikatakan kebanyakan orang tua setelah anaknya lulus kuliah dan ingin memulai usaha? “Kerja dulu di perusahaan besar, cari pengalaman dan kumpulkan uang untuk modal, baru mulai usaha!” Biasanya mereka akan terjebak di zona kenyamanan dan hilanglah keberanian. Apa yang akan Anda katakan saat anak Anda gagal usaha? “Udahlah, kamu tuh nggak bakat jadi pengusaha!”
Sadar atau tidak, sebagai orang tua, Anda sangat berperan membentuk nasib anak Anda saat ini atau dimasa mendatang. Jika mereka jadi bimbang saat mau melangkah, takut salah, takut gagal, diam ditempat dan loyo. Yaa itu buah dari apa yang telah Anda tanamkan ke mereka. Saya adalah sebagian kecil orang yang beruntung mendapatkan nilai-nilai kemandirian dari orang tua saya. Meskipun ayah saya seorang karyawan sampai pensiun, namun doktrinisasi kemandiriannya membuat saya tegar menghadapi semua rintangan hidup. Apa kata-kata lain yang sering diucapkan ayah saya? “Papah yakin, kamu PASTI BISA!”, “Coba terus sampai bisa”, “Gelar itu tidak penting, skill lebih penting”, “Belajarlah dari kesalahan”, bukannya tidak boleh salah lho.
Cari KETRAMPILAN Bukan Gelar
Beberapa tahun lalu saya berjumpa dengan salah seorang mahasiswi Universitas Ciputra, bernama Carol. Di usianya yang baru 19 tahun saat itu, saya cukup kagum dengan kemampuannya berinteraksi dengan orang lain. Carol menceritakan perihal pertemuannya dengan Ciputra, pendiri Universitas Ciputra. Pak Ci berpesan kepada Carol,”Kamu semester 6 keluar aja, bangun usahamu. Tak usah lama-lama sekolah”. Jika Anda sebagai seorang dosen atau orang tua murid, beranikah Anda mengatakan seperti itu? Pikir 200 kali mungkin ya? Kenapa Pak Ci berani mengatakan seperti itu? Justru karena beliau melihat potensi Carol yang bisa melesat lebih jauh dibanding jika ia tetap di bangku kuliahnya? Bagaimana dengan gelarnya sebagai seorang sarjana? Justru saat ia tidak mendapat gelar sarjana, tidak memberikan pilihan baginya menjadi seorang karyawan. Perlu diketahui, saat itu, Universitas Ciputra statusnya belum terakreditasi! Siapa sih orang tua yang mengijinkan anaknya sekolah seperti itu?
Sama halnya dengan Young Entrepreneur Academy (YEA) yang kami dirikan. Sengaja kami tidak mau memberikan sertifikat. Karena jika diberikan, biasanya akan dipakai untuk melamar pekerjaan. Siswa YEA akan diluluskan hanya jika “Mencapai OMSET USAHA minimum 50 juta rupiah perbulan dan NETT PROFIT 5 juta perbulan”. Gilanya lagi, mahasiswa YEA boleh membuat kesalahan, asalkan menanggung kesalahan itu bersama timnya. Sejak minggu pertama di YEA, mereka sudah berkompetisi dalam menjual dan menanggung kerugian jika tidak menang. Saat salah satu kelompok Event Organizer YEA angkatan 2 membuat kerugian 8 juta rupiah, merekalah yang harus menanggung kerugian yang telah mereka perbuat. Untungnya, meski masih berusia belasan tahun, mereka tahu bagaimana cara mencari uang untuk menutup kerugian itu. Inilah realitas kehidupan sebagai seorang pengusaha yang diajarkan ala YEA.
Pertanyaan saya kepada para orang tua:
- Apakah anak Anda dipersiapkan menjadi karyawan atau pengusaha?
- Apakah anak Anda bisa mandiri, (maaf) jika Anda meninggal nantinya?
- Apakah Anda mengijinkan anak Anda berbuat kesalahan (bukan kejahatan)?
- Apakah GELAR atau KETRAMPILAN yang lebih penting bagi anak Anda?
- Apakah Anda memberikan ‘ikan’ atau mengajarinya ‘memancing’?
Konsep Pemalas Ternyata Cocok dengan Hal ini. Dalam konsep pemalas yang ditekankan utamanya adalah pengenalan diri dan uniknya tiap orang punya satu sisi kekhasan tersendiri
termasuk dalam hal paling sakral mengenai aspek (spiritual)
menindak lanjuti postingan :http://pemalaskayabahagia.blogspot.com/2011/03/konsep-pemalas.html
0 komentar:
Posting Komentar