Karakter pemalas utamanya adalah tidak mau diperintah. Jika Anda bukan pemalas pastinya akan sangat senang sekali jika dikasih kerjaan. Kebalikannya, pemalas tidak mau disuruh begini begitu karena ianya punya karep sendiri. Sayangnya kata "pemalas" sudah tekonotasi negatif di masyarakat. Jadinya, orang terpaksa melakukan sesuatu yang bukan karep nya sendiri. Seringkali saya curi baca orang di facebook atau di sekeliling saya berkata:
"yah, besok sudah hari Senin"
"yah, liburan tinggal seminggu lagi"
Ini pertanda apa? sebenarnya jika dipahami benar, hal ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukannya tidak memenuhi hasrat jiwanya sendiri. Singkatnya, kebanyakan orang melakukan sesuatu karena terpaksa. Jika orang melakukan kegiatan yang menuruti kata hatinya, maka sudah barang tentu tak ada keluhan seperti di atas. Contoh sederhananya jika Anda sedang melakukan pekerjaan yang Anda senangi, hobi misalnya. Orang yang hobi mancing sampai-sampai tak kenal kata bosan walau sekian jam tak kunjung dapat ikan. Lalu, apa hubungannya dengan judul di atas?
Setidaknya seorang pemalas sebenarnya sudah berusaha untuk memimpin dirinya sendiri. Ada benih kepemimpinan di dalam dirinya. Jika setiap saat kita bertanya; "apa hak saya?" berarti kita termasuk bermental bawahan, namun jika setiap saat kita bertanya; "apa kewajiban saya?" berarti ada benih kepemimpinan di diri kita.
Sayangnya, seperti yang saya katakan tadi kata pemalas sudah terlanjur dikonotasikan negatif dibandingkan dengan kata rajin. Dampaknya, orang enggan meneruskan karakter "pemalas"nya karena tak mau dikonotasikan negatif. Jadinya, benih kepemimpinan yang ada di dalam diri tak bisa dikembangkan lebih lanjut. Pada akhirnya orang-orang tadi pun terpaksa menuruti apa yang sudah menjadi bentuk "kewajaran" yang berlaku di masyarakat. Jadilah mereka para bawahan. Warisan budaya kolonial sepertinya sudah mendarah daging di masyarakat kita. Priyayi, itulah sebutan pegawai Belanda waktu itu. Sayang sekali...
padahal pada mulanya Priyayi adalah pengabdian kepada masyarakat banyak, terutama kepada wong cilik, tanpa pamrih kecuali berhasilnya pengabdian itu sendiri. Warna itu adalah warna semangat kerakyatan. ( Para Priyayi, Umar Kayam, hal. 305 - 306, PT Temprint, 1992).
0 komentar:
Posting Komentar