eHari ini aku bertemu dengan sahabatku, Lintang. Pertemuan ini sungguh indah. Setelah lama kami terpisah aku dipertemukan dengannya kembali. Kedai itu mungkin akan menjadi saksi bisu atas indahnya pertemuan ini. (keterpisahan mengajarkan kita untuk memaknai dan menghargai indahnya sebuah pertemuan).
“hai Elang, sejak kapan kau duduk di sini?”
Hah, aku tersentak. Suara ini terasa tak asing di gendang telingaku. Aku jelas-jelas mengenalnya. Vibrasinya selalu terasa begini, lembut. Kuhembuskan asap rokokku, kutinggalkan sejenak tatap takjubku pada lukisan Sang Pencipta di luar sana. Lukisan alam yang sungguh mempesona. Rumpun padi yang menghijau, cericit pipit, dan segerombolan kekupu liar. Kutolehkan pandanganku pada sumber suara yang tak asing itu. Dan hampir-hampir aku tak percaya. Wajah itu, ah… wajah itu, aku tahu jelas siapa pemilik wajah yang teduh itu. Sejenak waktu seperti terhenti. Teringat dengan jelas kisahku dengannya. Kenangan yang melekat likat dalam memori otakku. Kisah suka dan duka yang aku ukir dengannya. Sungguh, airmata ini membuncah dengan sendirinya. Menetes membasahi pipiku entah karena apa.
“Lintang, kau kah itu?”
“Ya, ini aku Elang”
Reflek, aku segera berdiri dan kemudian memeluknya. Dia pun melakukan hal yang sama. Ah… pertemuan ini sangatlah indah. Suasana seperti ini memang kami rindukan. Duduk bersila di kedai kopi, menikmati lukisan Tuhan yang menawan. Padi yang menghijau, lereng gunung yang membiru, gemericik air sungai, cericit pipit, lengkap dengan kekupu liar yang terbang bebas adalah suatu kenikmatan tersendiri bagi kami. Kami pun berbincang, mengisahkan perjalanan yang telah masing-masing kita tempuh.
“Lintang, pertemuan ini sangatlah indah. Pertemuan dan perpisahan adalah satu paket kejadian yang musti ada agar kita dapat memahami arti dari keduanya. Keindahan ini ada karena keterpisahan pun juga pertemuan, dan kita telah mengalami keduanya”
“kau benar Elang, akhirnya kau paham”
“bukankah itu yang kau maksud dalam kisah pertapaan sang elang dan kisah kekupu liar?”
(hahaha, kami pun tertawa bersama)
“Elang, akupun belajar dari kegelisahanmu yang dulu itu. Kau lebih dulu meninggalkan kenyamanan dan kedamaian di desa kita. Memang rasa kecewa dan marah itu manusiawi. Namun, setelah kita sadar justru kemarahan dan kekecewaan itu menjadi pengingat bahwa batin kita ini belumlah tenang. Jika kita pahami segala kejadian yang kita alami merupakan pembelajaran dari Sang Pencipta. Elang, setelah aku turun gunung baru aku rasakan bahwa diantara perasaan sedih dan senang itu ada hal yang tak tergambarkan. Jika kita bisa dan telah berhasil memahaminya maka dimanapun kita berada dan kapanpun itu kita tetap akan merasakan kedamaian dan kedamaian saja.”
“tepat sekali. Mungkin sekarang ini kita sama-sama lelah menjalankan laju roda pedati”
(hahaha, kami pun tertawa bersama)
[Di dunia ini ada dua hal yang saling berpasangan. Oleh karena itu, mungkin kedua bola mata yang kita miliki merupakan simbol dimana kita harus melihat keduanya secara jernih. Yang hitam dan yang putih, adam-hawa, benar-salah, pahala-dosa, surga-neraka. Dan apabila kita tak mau melihat dengan dua buah bola mata maka yang terjadi adalah penghakiman secara sepihak mengenai benar dan salah. Semua itu berujung pada pemaksaan yang berakibat fatal. Maka benarlah jika dikisahkan bahwa dajjal-dajjal akan membunuh orang-orang yang tak mau mengikutinya. Keberagamaan yang kaku dan nilai-nilai kemanusiaan yang hampir hilang akhir-akhir ini apakah bukti bahwa dajjal bermata satu itu sudah datang????]
Surakarta, 23 September 2010
2 komentar:
intinya jgn menghakimi tapi liat dulu duduk perkaranya ya
hmmm, masih bisa di eksplor lagi
salam kenal ya...
Posting Komentar