Sore ini aku bertemu dengan orang beruntung itu. Ya, entah kenapa sore ini aku kepengen nongkrong sendirian di ladang ketela itu, menikmati segala rupa keindahan yang seringkali luput dari pandangan. Bentang alam di sini memang terlihat lumayan.
“mas, punya korek mas?”
Seorang lelaki tengah baya menghampiri diriku yang sedang duduk nyaman sambil menghisap sigaret.
“oh, ya Pak monggo”
Aku menyodorkan sebuah korek gas kepadanya. Pembicaraan basa-basi pun tercipta setelahnya. Aku rasa-rasakan sepertinya ia butuh teman bicara. Ia mulai bercerita tentang teman2nya dan mengapa ia sampai di ladang itu. Ia pun kemudian mengajakku untuk berleha-leha di sebuah gubuk tak jauh dari tempat itu. Hmm… lumayan enak sih.
“saya, capek sekali mas. Dua hari saya tidak tidur. Saya jalan dari Cirebon ke sini. Punggung saya sampai bengkak ini”
“lhoh, emangnya bapak tinggalnya di mana?”
“saya tidur di musholla mas”
“oooo, lalu di sini dalam rangka apa pak?”
“saya sedang riyadhlah”
“wah, apa itu Pak”
“riyadhlah itu mendekatkan diri kepada Allah, teman-teman saya sudah pada jadi, tapi biarlah saya masih teruskan saja”
“ow… begitu, terus riyadhlahnya sampai kapan pak?”
“ya sampai ketemu, saya nggak tahu sampai kapannya. Mas bisa tolong pijitin saya nggak mas?”
“bisa pak, mari saya pijit”
Mendadak aku menjadi seorang ahli mijit memijit. Katanya pijitanku enak, padahal aku asal memijit saja. Tampak dia keenakan aku pijit sampai-sampai ia minta ijin untuk berselonjor menelungkupkan badan terlebih dahulu. Detik demi detik tlah tanggal. Kegiatan pijit memijitpun kusudahkan.
“sudah pak, gimana dah enakan?”
“oh, ya makasih”
Perbicangan kemudian berlanjut. Petuah-petuahnya menjalar kemana-mana dan aku sampai tak bisa bicara. Benar-benar sepertinya ia butuh teman bicara.
“wah pak, kalau ketemu ama orang yang bukan islam terus gimana pak?”
Beliau tampak sedikit kebingungan.
“temen saya ada lho pak yang semula islam trus jadi budha. Kalau menurut saya sih bagaimana orang itu memilih yang pas dihatinya saja. Tiap jalan itu sebenarnya yang dicari juga sama. Di islampun nyatanya banyak macem-macemnya”
“klo islam ya terserah mau ikut madzab yang mana”
Ah, aku lupa perbicangan selanjutnya. Beliau banyak cerita tentang pengalamannya selama bertualang. Sepertinya beliau memang ingin curhat. Pelajaran yang bisa kupetik darinya adalah tentang kesabaran dan keikhlasan. Di sisi lain, aku sempat berpikir betapa sempitnya jalan untuk menemukan Tuhan. Bukankah Ia lebih dekat daripada urat nadi kita? Haruskah manusia itu bersusah-susah seperti itu untuk menemukan “pencerahan”. Jalan itu seolah dibuat elitis sekali. Belajar dari cerita Budha, nyatanya sang Budha itu justru menghindari jalan bersakit-sakitan seperti itu. Mungkin beliau ingin menghilhami perjalanan para wali. Ah, terlepas dari itu semua aku tak berani ngomong blak-blakan dengan beliau. Bisa jadi beliau malah langsung kecewa dan terluka hatinya. Yang terpenting bagiku, semoga beliau menikmati jalan yang dipilihnya. Bagiku orang yang “tercerahkan” itu tak melulu harus ketemu hal-hal yang tampak aneh dan ajaib. Jika aku jelaskan tentang fisika kuantum, hukum ketertarikan, meditasi, atau tetek bengek pengetahuan kekinian mungkin beliau akan sangat tidak tertarik. Hah, aku tak tahu. Apa aku yang terlalu dungu untuk mengerti apa yang beliau katakan?
Seringkali keyakinan akan pertolongan dan tanda Tuhan itu dibuat terlalu kaku. Aku jadi teringat kisah kakek tua yang desanya kebanjiran. Kakek tua itu sangat yakin sekali bahwa Tuhan akan menolongnya. Dan memang benar. Tuhan sudah mengirimkan penduduk dari desa sebelah. Tuhan sudah mengirimkan tim SAR. Dan untuk yang ketigakalinya Tuhan mengirimkan helicopter untuk menolong si kakek. Akan tetapi dengan teguhnya si kakek menolak segala jenis bantuan itu.
ooo0ooo
“mas, boleh aku minta cincinnya buat kenang-kenangan?”
Hah, mungkin ini orang yang beruntung itu. Ia adalah orang keempat yang meminta cincin bermata jeli ini. Entah ada daya tarik apa di dalamnya. Sudah tiga kali pertemuan seperti ini menghampiriku. Dan ketigakali pula aku tak melepaskannya. Sejak saat itu aku berjanji pada diriku sendiri, jika nanti ada lagi pertemuan yang seolah kebetulan seperti ini, berarti ialah yang akan kuberi.
“oh ya pak, ini silakan”
Saatnya belajar ikhlas. Cincin kesayangan itu ternyata bukan hakku lagi. Sampai jumpa saudaraku semoga apa yang engkau cari segera ketemu. Aku pamit…