Entah mulai kapan kita ini mulai berpikir. Kita sama tahu bahwa dengan pikiran ini kita dapat membedakan antara A dan B. bahwa pikiran ini adalah alat yang sangat hebat. Tapi sayangnya dengan pikiran ini kita tak sanggup untuk mendefinisikan pikiran itu sendiri. Hm… sayang sekali.
Yang lebih tambah membingungkan lagi jika aku katakana bahwa tulisan ini pun juga merupakan hasil olah pikiran. Setuju? Jika tidak setuju kenapa? Ya… jelas karena Anda dan aku berpikir dengan pikiran kita masing-masing. Selain itu, pola piker kita pun ditentukan oleh informasi yang masuk dari luar, disamping juga pengalaman. Celakanya, sebuah olah pikiran itu akan dianggap sebagai bentuk “kenormalan” atau “kewajaran” dan bahkan “kebenaran “ jika diamini oleh banyak orang.
Bah, sekarang aku akan kaitkan dengan keyakinan. Lhah.. judul di atas sudah kadung aku tulis demikian. Sebuah keyakinan ibarat pondasi dasar dalam membangun rumah. Maka jikalau saja pondasi itu tak kokoh, alhasil bangunan di atasnyapun akan gampang roboh. Sebuah keyakinan yang kokoh hanya bias terbentuk jika telah “mengalami” sendiri. Oleh karenanya pengalaman memiliki peranan penting untuk memperteguh keyakinan. Tanpa pengalaman, sebuah keyakinan hanya akan menjadi “katanya”. Jikalau demikian, tidakkah keyakinan itu harus dibuktikan?
Cukup sering aku mendengar bahwa keyakinan itu tak perlu pembuktian. Cukup diyakini saja, begitu katanya. Lho.. lho.. lho.. ini kok jadi katanya lagi tho? Coba kita berkeyakinan tanpa pembuktian, maka jikalau kita mau jujur pada diri sendiri, di dalam diri kita pasti akan timbul pertanyaan yang menyelidik
“masa sih?”
“apa memang demikian?”
“ini apakah benar begini?”
“apakah sudah benar keyakinanku?”
Coba saja, gratis kok….
Catatan using Bogor, 16 november 2010
0 komentar:
Posting Komentar