Kamis, 28 Juli 2011

kisah cinta seorang gadis


Mahasiswi cantik, 20 tahunan. Tubuhnya aduhai, cakap, cerdas, memukau setiap orang. Tak hanya mata jalang lelaki, para wanita pun terpukau karena ia begitu mempesona. Tak ada catatan yang jelas. Tak ada kabar yang tersiar sebelumnya. Gadis berparas manis itu ditemukan teronggok di bebatuan karang. Tubuh yang istimewa itu kini lunglai. Ia meloncat dari ketinggian bukit dan terjun bebas menghantam kerasnya karang.

Gemuruh ombak menghempas-hempaskan tubuhnya, menyapu darah yang membuncah keluar dari tempurung otaknya. Wajah pucat itu tak menunjukkan ekspresi apapun. Tidak ditemukan raut kesedian, kekecewaan, kepedihan, kegembiraan, ataupun kepuasan. Raut muka itu terlihat kosong, hampa tanpa makna.

Angel Susanti kini benar-benar telah dibawa “angel” pencabut nyawa. Tak ada lagi nyawa, yang ada tinggallah jasad. Jasad yang rapuh, lunglai tak berdaya. Mahasiswi yang dulu begitu energik sekarang benar-benar terkulai tak berdaya. Senyum yang dulu selalu mekar di kuncup bibirnya kini telah layu. Bahkan perlahan kelopak-kelopak mawar itu kini berjatuhan. Keenceran otaknya kini Nampak jelas wujud fisiknya. Wawasannya terhenti seketika. Buah kemanusiaannya telah sirna. Oh dimanakah sang jiwa? Dimana gerangan Angel Susanti kini?

Dibalik sebuah peristiwa

Seringkali kita menemui fenomena layaknya Angel Susanti ini. Seorang dengan kelengkapan tubuh nyaris sempurna. Kecakapannya luar biasa. Penuh tawa, sahabat, singkat kata ia selalu ceria. Namun dibalik itu semua, terkadang ada yang luput dari perhatian teman-temannya, orang tuanya. Ibarat sebuah bangunan, maka bangunan itu telah keropos di dalamnya. Rayap-rayap telah menggerogoti jiwa si putri cantik jelita. Apalagi yang bisa menggerogoti jiwa manusia kalau bukan: CINTA.

Seringkali orang tua telah salah paham dalam memberikan cinta. Mereka menyangka bahwa cinta itu cukup dengan mobil mewah, pendidikan tinggi, uang, atau rumah tinggal. Seolah-olah cinta itu adalah komoditi yang bisa diperjual belikan. Cinta yang semacam ini tidaklah langgeng alias hanya perlu beberapa putaran episode saja layaknya opera-opera sabun di televisi kita. 

Cinta dan perasaan?

Lantas beberapa orang bilang, lho… aku memberikan anakku berbagai macam fasilitas, uang, pendidikan itu karena aku cinta. Aku bekerja keras banting tulang (ah menyakitkan) itu semua demi cinta. Cintaku kepada anak!!! Aku membatasi pergaulan anakku itu karena aku mencintainya. Aku tak ingin ia terjerumus dalam pergaulan yang salah. Itu semua karena aku mencintai anakku.

Nah, di sini sepertinya ada sebuah kekeliruan dalam memahami cinta. Cinta lebih luas dari perasaan. Mungkin bagi si orang tua, dengan berlaku demikian ia telah mencintai anaknya. Tidakkah hal itu hanya perasaan saja. Tidakkah itu hanyalah dalih yang dibuat-buat saja. Nyatanya, cinta itu tak sedangkal perasaan. Betapapun bejatnya seorang anak, seorang ibu tak akan mungkin dapat membenci anaknya. Perasaan benci telah dikalahkan oleh cinta. Lalu, apakah cinta?

Demi cinta, seorang gadis nekat bunuh diri untuk merebut kekasih pujaannya

Demi cinta keluarga, seorang birokrat menilap uang rakyatnya

Demi cinta agama, seorang pemuda nekat melakukan bom bunuh diri di masjid

Kini cinta pun telah turun tahta layaknya Tuhan telah turun tahta menjadi kitab. Rasul telah turun tahta menjadi hadist.

Lalu, apakah cinta?

0 komentar: