Seringkali kita akan mencari-cari segala sesuatu di luar diri kita. Tak jarang kita selalu menyalahkan orang lain. Kita begitu sibuk mengurusi orang, padahal dengan diri kita sendiri tak mengenal. Jika kita telah bisa menaklukkan diri kita sendiri sebenarnya kita sudah mencapai puncak. Mengapa? Tak lain tak bukan karena sebenarnya hal itulah wujud pengenalan segala rupa Kemahaan. Itulah wujud persaksian yang sakral. Itulah miniatur pendakian. Sebuah jalan sepi dan wingit. Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa rabbabu --Siapa yang telah mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya.
Pada saat itu, keinginan Anda menjadi keinginan Yang Maha Kuasa. Tangan Anda menjadi TanganNya. Kaki Anda, Penglihatan Anda, Pendengaran Anda pun menjadi MilikNya. Segala gerak Anda adalah gerakanNya. Inilah total surrender.
Praktis takkan ada kegelisahan dalam hidup. Hidup ini sudah dirancang sedemikian rupa, sangat cantik. Akan tetapi yang perlu diperhatikan yaitu tak ada kata finish. Semuanya terus berjalan. Bedanya sekarang Anda bisa lebih bijak untuk memaknai hidup, dan pada akhirnya kita harus ikhlas menerima hidup. Ya, pada ujungnya kitapun hanya bisa terdiam.
KISAH SETETES AIR MATA
Aku tak bisa bicara
Aku tak bisa diam
Bicaraku adalah diam
Diamku adalah bicara
Lewat air mata
Air mata itu jatuh, menggelinding ke tanah
Merembes mencari induk sungainya
Bermuara pada lautnya
Lalu ia menguap, dikedipkan awan, dan kutampung dalam cawan cawan
Aku tak bisa diam
Bicaraku adalah diam
Diamku adalah bicara
Lewat air mata
Air mata itu jatuh, menggelinding ke tanah
Merembes mencari induk sungainya
Bermuara pada lautnya
Lalu ia menguap, dikedipkan awan, dan kutampung dalam cawan cawan
Air itu kurebus, hingga pada titik yang tertakar, matanglah ia
Kuambil bulir bulir kopi dan gula, kuseduhlah mereka
Maka itulah secangkir candu yg nikmat
Air mata itu tlah pulang ke tubuhku, ia merasuk bersama tiap tenggak canduku
Hingga pada saatnya nanti, ia kan kembali jadi materi, karena akupun mati
Bogor, 6 January 2010
Kuambil bulir bulir kopi dan gula, kuseduhlah mereka
Maka itulah secangkir candu yg nikmat
Air mata itu tlah pulang ke tubuhku, ia merasuk bersama tiap tenggak canduku
Hingga pada saatnya nanti, ia kan kembali jadi materi, karena akupun mati
Bogor, 6 January 2010
Lihatlah, alam mengisyaratkan kita pada sebuah siklus yang berulang-ulang. Semuanya serba teratur menuruti hukum universal. Semuanya bersiklus. Ada yang berkata; hiduplah seperti air, mengalir mengikuti arusnya. Ada juga yang membantah; mau dibawa kemana aliran itu? Kira-kira yang mana yang benar?
Tak ada yang benar, tak ada yang salah. Jika ada orang yang berkata; hiduplah seperti air ataupun mengatur jalannya air, sebenarnya harus diperhatikan pula situasi yang melingkupi orang tersebut. Aku pernah mengalami posisi sulit. Aku dihadapkan pada sebuah pilihan hidup yang akan sangat menentukan. Selepas proyek penelitian aku menunggu sebuah tanda yang datang. Aku yakin, setiap manusia diberikan tanda-tanda harus kemana ia menapaki hidup. Hanya saja, apakah kita cukup jeli untuk menangkapnya. Apakah kita cukup piawai untuk membacanya. Iqro, bacalah.
Hidup seperti air. Kemana dia akan mengalir? Sesuai titah Tuhannya yang namanya air pasti akan bermuara ke laut. Itu jelas, tak bisa ditawar-tawar lagi. Kita adalah setiap tetes mata air itu, kita pun akan kembali kepada Sang Sumber(bermuara ke laut). Jadi jelas, jika ada yang berprinsip hidup seperti air, itu tak salah. Tidakkah Anda percaya kepada Sang Pembuat Rencana? Lihatlah air, ia tak pernah menyerah mengikuti titah Tuhannya. Terhalang batu ia berbelok ke kiri atau ke kanan. Terhalang lagi ia merembes atau melapukkan. Setelah mentok ia menguap, dikedipkan awan kembali ke laut atau menjadi mata air lagi dengan jalan yang sama sekali baru. Air, takkan menyerah menuruti titah Tuhannya.
Tolong perhatikan kata “mengikuti titah Tuhannya”. Ini adalah kata kunci yang belum sepenuhnya dimengerti oleh mereka yang mengoreksi prinsip hidup mengalir seperti air. Mengikuti titah Tuhannya berarti bahwa ia telah mengenal dirinya. Mengenal titah Tuhannya berarti telah dapat membaca tanda kemana harus melangkah, kemana harus menjejakkan kaki. Memang, perlu pembelajaran yang terus menerus dan berulangkali hingga kita bisa jeli.
Di sisi lain, orang berkata; jangan seperti air, hidup itu harus direncanakan. Ya, benar. Itu juga tak salah. Inilah uniknya manusia, ia bisa memilih jalan mana yang ingin dilalui. Terlepas dari itu, tetap muaranya pasti ke laut. Kembali pada Ilahi Robbi. Lalu, dimana letak perbedaannya?
Letak perbedaan itu sebenarnya hanya pada sudut pandang kita yang melihatnya. Jika kita berpandangan sempit, hidup mengalir seperti air seolah hanyalah sebuah hidup yang pasrah seperti filasafat jawa yang mengatakan nrimoing pandum. Padahal apabila dicermati, mereka bukan tak punya harapan dan impian. Hanya saja, Anda tak bisa membaca apa yang dipikirkannya atau bisa jadi, orang tersebut tidak jelas merumuskannya dalam kata-kata.
0 komentar:
Posting Komentar