Ditinjau dari segi bahasa ataupun terminology bahasa dari ras apapun yang ada di setiap bangsa, komponen masyarakat, atau suku bangsa akan melabrak sikap malas. Mereka dengan segala argument membabi buta, dengan segala kejumudan-nya selalu menentang segala varian virus malas yang menggelayuti pikirannya. Namun sedemikian manusia melawan rasa malas, perasaan itu aku jamin akan selalu menyerang setiap kali panggilan dari sorga ini ingin memeluk mereka dengan kasih sayangnya.
Bagi mereka yang jeli tentu akan dengan segera menyambut panggilan sorga ini dengan lapang dada seakan ia melapangkan dadanya untuk berserah diri, as slama kepada kehendak tuhan. Ya, perasaan malas sejatinya adalah sebentuk kesepian eksistensial yang mawujud dalam tataran rasa dimana ia menyeruak begitu saja mendekap jiwa manusia.
Merekonstruksi makna kemalasan
Jika kita menilik kamus besar bahasa Indonesia, kata malas itu dimaknai sebagai keengganan untuk bekerja. Dengan demikian banyak orang bahkan hampir seluruh masyarakat bumi telah salah persepsi terhadap panggilan dari sorga ini. Sedemikian sayangnya Tuhan pada manusia maka Dia memberikan radar malas ini tepat di kedalaman hati manusia.
Jika saja manusia mau sejenak berpikir menggunakan potensi kediriannya maka harusnya ia akan menerawang lebih jauh tentang hakikat dari kerja. Maksudnya bagaimana bung? Oh, aku senang Anda bertanya. Seharusnya kita mau meluangkan sedikit waktu untuk menilik lagi tujuan kita bekerja. Apa yang kita cari dalam bekerja? Bekerja itu mencari apa?
Dengan pertanyaan demikian maka sebagian besar orang akan menjawab: bekerja ya cari uang. Uang buat apa? Uang ya buat beli kebutuhan sehari-hari. Apa kebutuhan pokok manusia sehari-hari? Makan. Untuk apa makan? Ya biar hidup. Untuk apa hidup? Untuk makankah atau untuk apa?
Makan untuk hidup ataukah hidup untuk makan?
Jadi apa itu kemalasan?
Sejatinya malas adalah tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Lantas, apa yang harus dilakukan manusia di dunia ini?
Silahkan direnungi…..
0 komentar:
Posting Komentar