Betapapun seorang manusia terperosok dalam jerat jaring-jaring dunia, pernak-pernik dunia yang berkilauan bak intan permata selalu saja ia akan tersedot oleh energy dahsyat dari dalam kediriannya untuk bertemu dengan Tuhannya. Di dalam lubuk hatinya yang terdalam ia merindukan sebuah kedamaian dan ketenangan layaknya janin yang masih dalam kandungan. Janin yang masih tertidur dalam gua garba ibunya.
Namun kecuali jika ia sudah sedemikian tertutup hatinya sehingga “cahaya” yang terang benderang pun tak akan mampu menyedot perhatiannya. Tarikan “kelangitan” sudah putus dari jiwanya. Mungkin itulah yang disebut-sebut dalam Al Quran sebagai orang yang telah dikunci mati hatinya. Sebuah kerinduan akan inner peace selalu di tafsirkan sebagai tarikan “bumi” sehingga aksesoris-aksesoris jasadiah-lah yang menjadi primadona.
Dan hal itulah yang terjadi saat ini, seperti yang sudah diwanti-wanti oleh seorang pujangga Jawa, Ronggowarsito dahulu kala. Arahan dari agama tak mampu diaplikasikan hingga esensi terdalamnya. Banyak orang orang sudah merasa suci ketika baru menjalankan syariat saja. Lontaran kata-kata kafir, sesat begitu mudahnya terucap. Dan hal yang demikian itu adalah bukti real bahwa kebanyakan orang baru menyelam pada tataran kulitnya saja.
Mengapa banyak diantara kita belum sadar?
Jawabannya adalah karena banyak budaya dan kepercayaan sering menjejali kita dengan pemahaman usang dan kadaluarsa yang membatasi berkembangnya pemahaman atau penafsiran baru terhadap suatu ayat atau surat. Penafsiran baru selalu dianggap tabu untuk didiskusikan. Komunikasikan semuanya kepada Guru Sejatimu, your Higher Self, Nur Muhammadmu, Budhamu, atau Kristusmu.
Meminjam sabda Nabi: mintalah fatwa pada hatimu!!
Lalu pertanyaannya, bagaimana untuk “bersatu” dengan Tuhan? Mau tak mau, tidak bisa tidak maka si manusia tadi harus melakukan apa yang dalam tasawuf diistilahkan dengan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), mesu budi, tapa brata, manunggal mijil, atau istilah apapun yang Anda nyaman dengannya. Buah dari laku tersebut akan menyebabkan si manusia tadi dapat dengan mudah menyelaraskan gelombangnya dengan gelombang Sang Maha Hidup yang diwakili oleh Guru Sejati.
Sebuah pengalaman yang sangat mempribadi yang biasanya dikatakan sebagai suwung, sunyata, atau nirvana walaupun seolah sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata itu sebenarnya dapat dijelaskan dengan sederhana. Jika kita sanggup mengilustrasikan apa yang disebut “tidak ada” ya itulah yang dimaksud. Tidak ada kata yang bias terucap kecuali Tuhan. “tidak ada”, ada saja tidak.
0 komentar:
Posting Komentar