Ilalang bergoyang mengikuti hembusan angin. Suara gemericik air melengkapi simponi sore ini. Memadamkan seluruh gejolak yang menyeruak begitu saja. Aku kembali tetirah di kedai kaki langit. Mencumbui segala simponi yang ada di dalamnya.
“kenapa kau heran elang. Semua tampak mempesona dan biasa-biasa saja. Jika kau mulai lepas dan dipermainkan pikiranmu, maka engkau pun akan merasakan keterlepasan dari harmoni ini. Kau tak perlu mengindah-indahkan bentuk permainan ini karena sejatinya permainan ini sudahlah indah. Kau hanya perlu menjaga kesatuanmu dengannya. Kau harus mengorbit pada inner peace yang ada dalam dirimu.”
Lintang menghampiriku yang sedang duduk di atas batu, membawakanku secangkir teh dan bicara entah apa maksudnya.
“memang demikianlah manusia. Terkadang apa yang dibicarakan akan mereduksi isi dari pembicaraan. Namun setidaknya bagi mereka yang paham, pastinya dapat memetik hikmah yang terbungkus oleh kata-kata itu. Apakah kau dapat mengerti?”
Sejurus kemudian ia mengambil ranting dan menggambar sesuatu di atas tanah.
“tetaplah kau mengorbit pada inti elang. Itulah ujung pangkal dari inner peace yang ada dalam dirimu. Itulah pusat dari segala yang menghampar di hadapan kita. Itulah pusat dari segala jagad raya. Jika setiap makhluk mengorbit pada satu titik ini maka hanya perasaan kedekatanlah yang bakal tercipta. Hanya kebersatuanlah yang akan terasa. Layaknya kau akan menuju puncak bukit kaki langit ini, darimanapun kau mulai mendaki, pastinya ujungnya tetaplah puncak bukit kaki langit. Semua tampak mempesona dan biasa-biasa saja.”
Aku hanya diam saja layaknya bocah dungu mendengarkan khotbah sang presiden. Kata-kata asing, anasir-anasir asing yang keluar dari mulutnya kini lebih terasa asing, seasing aku mengenali mukaku sendiri. Tak ada kata yang bisa terucap dari bibirku. Mungkin keheningan senja telah merasuk dalam diriku. Mengatupkan mulutku.
Aku terbangun tepat pukul empat seperrempat. Ah, dimana Lintang dan secangkir teh untukku. Dimana reranting kering yang kulihat tadi? Yang diambil oleh Lintang. Kutolehkan kepalaku ke bawah, meneliti setiap sudut pandang yang mampu kujamah dengan mataku. Dan ah, apakah aku tadi hanya bermimpi? Tapi kenapa aku melihat gambar di atas tanah persis seperti apa yang kulihat tadi? Apakah ini benar-banar mimpi? Gambar apa ini?
0 komentar:
Posting Komentar