Minggu, 24 Juli 2011

kedai kaki langit

Andre Maulana itulah nama temanku yang sekarang sedang berada di sampingku. Dari tadi ia terus berceloteh dalam keingintahuannya. Ya, kali ini aku membawa seorang teman dari hiruk pikuk permainan di kota sana. Ah bukan… aku tak membawanya, ia sendiri yang ingin tahu perihal kedai kaki langit, tempatku menyepi sembari menikmati secangkir kopi manis dan beberapa batang sigaret yang kubawa dari rumah permainan di luar sana.

Andre adalah sesosok pemuda tampan. Berumur dua puluh tahunan, dua tahun lebih muda dariku. Aku berkenalan dengannya sewaktu aku sedang asyik memancing di tepi laut sana. Perawakannya cukup tegap. Tangannya kekar, dadanya membidang lapang. Cukup lapang untuk seorang wanita bersandar di dada itu. Bahkan mungkin dada itu sudah layak disebut sebagai benteng pertahanan yang kokoh bagi seorang wanita untuk menyandarkan kelembutannya. Rumah singgah paling nyaman bagi hawa. Sang hawa yang selalu rindu untuk pulang dalam dekapan sayang. Tempat dimana dulu ia tercerabut dari benteng pertahan yang kokoh di dada itu. 

Namun tidak untuk sekarang. Sesekali tidak. Dada itu kini sedang rapuh. Degub suara jantungnya terasa asing bagi seorang wanita. Suaranya itu terlalu menggelora, sedetik meng-amuk bagai badai di lautan dan sesekali terhenti, sejurus kemudian meng-amuk lagi. Bahkan akupun kala itu sanggup mengendus jilat-jilatan suara riuh di dadanya. Kembang kempis, ya.. kembang kempis layaknya ikan yang baru kukeluarkan dari habitat aslinya, megap-megap di daratan. 

“mari memancing kawan, apa kau tidak membawa kail?” tanyaku basa basi waktu itu.

“ya, silahkan memancing kak, aku di sini saja?”

“lautan memang seperti itu kawan, kadang menga-amuk dan kadang melempang datar layaknya karpet  tempat para raksasa raksesi tidur di istana mereka”

“hahaha… ada-ada saja kau kak, oh ya.. siapa gerangan namamu kak?”

“jangan panggil aku kak, panggil saja Elang, namamu siapa kawan?”

“Andre, Andre Maulana”

“Hmm… tampaknya kau sedang terkesima dengan riuh gelombang di sini ya? Seriuh suasana hatimu. Jangan njebur Ndre… lautan di sini terlalu keras untuk kau selami. Jika kau ingin melihat keindahan, aku kira lautan di seberang sana akan membius pandangan matamu.”

“hahaha, kau menyindirku ya”

Aku rasa kawan baruku ini cukup cerdas. Ia mampu membaca sindiran-sindiran halus yang kusematkan di balik kata-kataku. Secercah senyum mengembang dari dari kuncup bibirnya. Sejenak ia terlupa oleh gelegak badai yang meng-amuk di dadanya. Kini lautan di dadanya telah luput dari gelombang. Ia pun mau bercerita panjang lebar. Dan sudah kutebak. Saat ini ia sedang dipermainkan cinta. Cinta ini cinta yang agung. Cinta ini berbeda dengan cinta yang kebanyakan. Ini bukanlah cinta yang telanjang. Ini bukanlah cinta layaknya seorang ibu kepada anaknya. Ini lebih dari itu. Lebih, sungguh lebih… seorang Andre Maulana telah ditawan cinta. Kini ia berdiri di atas cinta, direngkuh sang cinta. Ia bercinta dengan sang cinta. Ia berada dalam hati sang cinta.

Mendadak lautan menjadi tenang. Desing angin pun kini tak terdengar. Hanya cericit camar yang kini menghiasi lautan bening. Muara segala sungai, induk-dari segala induk sunggai di dunia. Sejenak aku pun larut dalam kebeningan ini. Waktu seolah terhenti. Aku terhanyut dalam kisah cinta seorang Andre Maulana. Seorang lelaki gagah yang ditinggal pergi kekasihnya. Aku ikut terhanyut dalam lautan cintanya. Riak gelombang lautan yang terhenti sekarang ini sudah cukup jelas menggambarkan betapa dalamnya gelora cinta seorang lelaki ini. Alam memang selalu mengabarkan pesan misteri yang kadang terlalu ganjil untuk dimengerti.

“aku pulang dulu ya, Ndre…”

“akan kemana kau Elang? Di mana rumahmu, bolehkah aku ikut?”

“aku akan ke lembah kaki langit, sebuah kedai kecil di sana adalah rumah singgahku. Kedai itu terlalu sederhana buatmu, tidakkah lebih baik kau pulang ke rumah? Orang tuamu nanti mencarimu?”

“oh ya, aku belum mengatakannya. Kedua orang tuaku sudah tiada. Kata kakekku, sebuah kecelakaan hebat menimpa kami waktu itu, dan beruntung aku selamat”

“oh maaf, aku tak tahu. Aku turut prihatin ya Ndre”

Sungguh kasihan anak ini. Segala bentuk cinta telah lepas dari jiwanya. Namun kini ia benar-benar di tawan sang cinta. Ia telah menemukan sebentuk cinta yang agung. Memang kadangkala kita terlalu hanyut dalam sebuah kesedihan. Padahal, kesedihan seberapa pun dahsatnya itu. Seberapa pun pahitnya itu. Ia hanyalah rupa sisi yang bersebelahan dari wajah peristiwa. Justru semakin terasa pahit peristiwa itu, maka sekeping wajah di lain sisinya adalah sebuah kebahagiaan yang manis. Tergantung kita melihatnya dari arah yang mana.

Dengan tubuh perpeluh keringat, ia terus saja membututiku. Dahinya tampak berkilat-kilat dibakar sengat sang surya. Perjalanan ke kedai kaki langit tidaklah sesederhana jalanan Jakarta. Perjalanan ke sana ibarat reka susuran jejak yang dulu menyisa setapak. Bukan jalan lempang berhiaskan manik-manik bercahaya di kedua sisinya. Ini jalan setapak yang berliku. Kadang menanjak, kadang menurun. Penuh kerikil dan bebatuan terjal. 

Aku sengaja berjalan memutar, mencoba seberapa tangguh anak ini. Seberapa maskulin jiwanya. Kubawa ia melewati tepian jurang, melipir jalanan menanjak layaknya tanjakan setan di gerbang puncak gede. Tak kusangka, ia begitu teguh dalam pendiriannya. Tak sedetikpun ia minta berhenti untuk sekedar menyeka keringat yang kini mulai membasahi kulit tubuhnya. 

Kini kubawa ia menju ke punggung bukit. Kuajak ia terpesona oleh rupa-rupa menawan dari wajah Tuhan di dunia. Sebuah lanskap perbukitan dengan pemandangan laut di satu sisinya dan lereng-lereng bukit kaki langit yang terjal dengan warna kekontrasan yang sungguh memukau dan menawan. Di sini adalah tempatku menemukan sekumpulan elang yang saling berkejaran. Sekumpulan elang jantan yang mencoba menarik hati sang elang betina.

0 komentar: